Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Hutan Cadangan Pangan, Solusi bagi Ketahanan Pangan Nasional

Kompas.com - 17/02/2023, 16:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SALAH satu ide cukup cemerlang dari Sumohadi, Menteri Kehutanan dan Perkebunan era Presiden Soeharto setelah dilantik menjadi menteri pada 16 Maret 1998, adalah menjadikan kawasan hutan sebagai basis ketahanan pangan untuk mendukung kecukupan dan ketahanan pangan nasional, khususnya padi dengan pola tumpangsari di lahan hutan.

Namun, ide itu tidak sempat terealisasi. Dua bulan kemudian, tepatnya 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri akibat gonjang ganjing politik. Kabinet Pembangunan VII, yang menaungi Sumohadi, juga bubar.

Masalah pangan, khususnya kecukupan beras, merupakan hal krusial bagi Indonesia. Seiring laju pertambahan penduduk yang pesat, yang belum diimbangi peningkatan laju produksi padi, Indonesia menjadi rawan pangan. Ketergantungan terhadap impor beras menjadi-jadi apabila terjadi anomali produksi di tingkat petani.

Di era Soeharto, dengan jumlah penduduk 125 juta jiwa, pernah mengalami zaman keemasan dalam mencukupi kebutuhan pangan penduduk, khususnya beras. Puncaknya tahun 1984, Indonesia dinyatakan sebagai negara yang mampu berswasembada pangan, khususnya beras. Presiden Soeharto mendapatkan penghargaan dari FAO tahun 1984.

Baca juga: Ada Panen Raya di Pandeglang, Kementan Klaim Stok Beras Melimpah

Pada era Presiden BJ Habibie hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia menjadi negara importir beras, baik dari Thailand maupun Vietnam, untuk mencukupi kebutuhan pangan.

Tiga puluh delapan tahun kemudian (2021), dengan jumlah penduduk telah mencapai 270 juta jiwa, di era Presiden Joko Widodo, Indonesia baru mencetak sejarah lagi dengan mendapat penghargaan dari Institut Penelitian Padi Internasional (International Rice Research Institute/IRRI) karena Indonesia dinilai memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras pada periode 2019-2021 secara berturut-turut.

IRRI menilai, Indonesia mencapai swasembada karena mampu memenuhi kebutuhan pangan pokok domestik, dalam hal ini beras, lebih dari 90 persen. Upaya Presiden Jokowi membenahi sektor pertanian dengan membangun banyak infrastruktur pertanian (bendungan, embung, saluran irigasi) dari sejak awal pemerintahannya (2014 hingga kini 2022) tampaknya membuahkan hasil.

Akankah prestasi sebagai negara swasembada beras mampu dipertahankan untuk masa yang akan datang? Dengan kondisi agroklimat yang baik (lahan yang relatif subur dan iklim yang mendukung), seharusnya kita optimis dapat mempertahankan prestasi yang telah dicapai tiga tahun berturut turut tersebut, bahkan besaran produksi padinya masih dapat ditingkatkan dengan beberapa catatan-catatan sebagai berikut: 

1. Mempertahankan Negara Agraris

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ada dua ciri-ciri negara agraris. Pertama, perekonomian bergantung pada sektor pertanian. Kedua, penduduknya mayoritas bermata pencarian di sektor pertanian. Pada masa Orde Baru, kedua ciri tersebut dimiliki Indonesia. Jadilah Indonesia negara agraris berdasarkan perhitungan kualitatif.

Seiring waktu berjalan, BPS tahun 2018 memaparkan berita resmi statistik mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang menyatakan, Produk Domestik Bruto (PDB) tertinggi Indonesia adalah sektor industri, bukan pertanian. Sektor industri memberikan sumbangan pada pertumbuhan ekonomi 19,66 persen. Sektor pertanian justru berada pada posisi runner up dengan andil 13,53 persen.

Apabila negara agraris didefinisikan sebagai negara yang perekonomiannya bergantung pada sektor pertanian, Indonesia sudah tidak pas lagi disebut sebagai negara agraris. Sektor yang memegang sumbangsih pertumbuhan ekonomi terbesar negara ini telah tergantikan dengan sektor industri.

Bahkan, semakin berkurangnya lahan pertanian akan lebih menurunkan share pertumbuhan ekonomi di Indonesia di masa mendatang, sehingga sektor potensial lain seperti perdagangan akan segera mengunggulinya.

Baca juga: Soal Pemerintah Impor Beras 500.000 Ton secara Bertahap, Gibran Pastikan Stok Beras di Solo Aman

Namun, apabila negara agraris adalah yang penduduknya mayoritas bermata pencarian di sektor pertanian, maka Indonesia masih relevan disebut negara agraris. Walaupun andil PDB sektor pertanian berada di posisi kedua, sektor pertanian merupakan sektor padat karya yang efektif menurunkan jumlah penganggur.

Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada Agustus 2018, sekitar 28,79 persen penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian sebagai pekerjaan utama. Sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja, disusul sektor perdagangan (18,61 persen), dan sektor industri (14,72 persen).

Meskipun lahan pertaniannya yang dapat diolah seluah 55 juta hektare, namun luas lahan baku sawah hanya sekitar 7,46 juta hektare pada 2019.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Apa Itu Turbulensi? Ini Pengertian, Penyebab, dan Dampaknya pada Pesawat

Apa Itu Turbulensi? Ini Pengertian, Penyebab, dan Dampaknya pada Pesawat

Tren
Harga dan Cara Beli Tiket Fanmeeting Byeon Wooseok di Jakarta

Harga dan Cara Beli Tiket Fanmeeting Byeon Wooseok di Jakarta

Tren
Soal Kasus Fat Cat di China, Polisi Sebut Mantan Pacar Tidak Bersalah

Soal Kasus Fat Cat di China, Polisi Sebut Mantan Pacar Tidak Bersalah

Tren
Meteor Biru Melintasi Langit Spanyol dan Portugal, Ini Penjelasan Badan Antariksa Eropa

Meteor Biru Melintasi Langit Spanyol dan Portugal, Ini Penjelasan Badan Antariksa Eropa

Tren
7 Orang Dekat SYL yang Disebut Dapat Duit dari Kementan

7 Orang Dekat SYL yang Disebut Dapat Duit dari Kementan

Tren
Penjelasan TNI AL soal Lettu Eko Disebut Akhiri Hidup karena Judi

Penjelasan TNI AL soal Lettu Eko Disebut Akhiri Hidup karena Judi

Tren
Ada 2 WNI, Ini Daftar Penumpang Singapore Airlines yang Alami Turbulensi

Ada 2 WNI, Ini Daftar Penumpang Singapore Airlines yang Alami Turbulensi

Tren
Angka Kematian akibat Kecelakaan di Swedia Terendah, Apa Rahasianya?

Angka Kematian akibat Kecelakaan di Swedia Terendah, Apa Rahasianya?

Tren
Viral, Video Balita Ketumpahan Minyak Panas di Yogyakarta, Ini Kronologinya

Viral, Video Balita Ketumpahan Minyak Panas di Yogyakarta, Ini Kronologinya

Tren
Hasil Tes Online 1 Rekrutmen BUMN Diumumkan Hari Ini, Begini Cara Ceknya

Hasil Tes Online 1 Rekrutmen BUMN Diumumkan Hari Ini, Begini Cara Ceknya

Tren
Virus Raksasa Berusia 1,5 Miliar Tahun Ditemukan di Yellowstone, Ungkap Asal-usul Kehidupan di Bumi

Virus Raksasa Berusia 1,5 Miliar Tahun Ditemukan di Yellowstone, Ungkap Asal-usul Kehidupan di Bumi

Tren
3 Cara Melihat Aplikasi dan Situs yang Terhubung dengan Akun Google

3 Cara Melihat Aplikasi dan Situs yang Terhubung dengan Akun Google

Tren
BMKG: Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 22-23 Mei 2024

BMKG: Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 22-23 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] ICC Ajukan Surat Penangkapan Pemimpin Israel dan Hamas | Mengintip Jasa 'Santo Suruh' yang Unik

[POPULER TREN] ICC Ajukan Surat Penangkapan Pemimpin Israel dan Hamas | Mengintip Jasa "Santo Suruh" yang Unik

Tren
Kronologi Singapore Airlines Alami Turbulensi, 1 Penumpang Meninggal

Kronologi Singapore Airlines Alami Turbulensi, 1 Penumpang Meninggal

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com