Jabatan kepala desa di setiap wilayah pun berbeda-beda penyebutannya. Di wilayah Bolaang Mongondow, kepala desa biasa disebut sangadi. Berbeda halnya di wilayah lain, penyebutan kepala desa beragam seperti geuchik (Aceh), wali nagari (Sumatera Barat), pambakal (Kalimantan Selatan), hukum tua (Sulawesi Utara), perbekel (Bali), kuwu (Pemalang, Brebes, Tegal, Cirebon dan Indramayu), pangulu (Simalungun, Sumatera Utara), peratin (Pesisir Barat, Lampung), dan kapala lembang (Tana Toraja & Toraja Utara, Sulawesi Selatan).
Kehidupan demokrasi di negeri ini tidak terlepas dari praktik-praktik demokrasi yang diimplementasikan masyarakat desa. Praktik demokrasi ini berkaitan kuat dengan sejauh mana efektif pelaksanaan Pasal 1 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Pemerintah desa adalah penyelenggara urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat. Maka penyelenggaraan pemerintahan desa mesti mengakomodasikan aspirasi dan misi menyejahterakan dan membahagiakan masyarakat yang dipimpin.
Di dalam sistem nilai kebudayaan desa, tokoh atau subyek yang punya laku demikian, punya pengaruh kuat dan gampang diterima khalayak. Sehubungan dengan asumsi bahwa masyarakat desa gampang manut, mudah dipengaruhi atupun lancar diatur-atur, membuat tokoh yang berpengaruh itu bernilai “mahal” bagi sejumlah partai politik (parpol).
Ironisnya, si tokoh ini memang tahu bahwa ia punya kapital untuk jual mahal. Maka parpol mana yang cuma bisa merayu ataupun punya kemampuan “membeli” tokoh untuk jadi kades, tidak kasat mata diketahui tapi aromanya sangat kuat berhembus tatkala jelang dan saat pemilihan kepala desa (pilkades).
Keuntungan yang didapat parpol dari sana, sekurang-kurangnya basis massa demikian menguat. Faktor keuntungan ini yang sangat mungkin membuat kancah perpolitikan di parlemen “akur-akur” selalu dengan eksekutif merespon tuntutan demo para kades.
Sepertinya para kades yang juga mulai cekatan membaca “wangsit” politik, hingga ini dapat dibaca mengapa tututan itu justru marak di tahun politik. Lagi pula, tututan para kades yang berdemo di depan Gedung DPR itu bukanlah “demi” rakyat yang terhina dan terlantar.
Masyarakat desa demikian terhina, kemajuan bangsa abad 21 justru masih didapati seperti penghidupan abad 17: kemiskinan merajalela, masyarakat terlantar dan tertindas.
Tututan mereka justru berkutat pada perputaran kekuasaan dan pengelolaan dana desa, dalam bentuk permainan politik dari sebuah pergeseran idetifikasi desa mau jadi kota. Maka saat sejumlah televisi menayangankan demo mereka, banyak tersorot laku mereka “bergaya” menikmati cita rasa kota.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.