Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salsabilla Sakinah
Praktisi

Mahasiswa Doktoral School of Journalism, Media and Culture Cardiff University, UK. Konsultan museum.

Museum Digital dan Masa Depan Koleksi Museum

Kompas.com - 18/01/2023, 15:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ANGGARAN sebesar Rp 15 miliar untuk proyek konten Masjid Al-Jabbar, Bandung, Jawa Barat, sedang ramai disorot. Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, mengklarifikasi bahwa anggaran bernilai fantastis itu bukan untuk konten media sosial atau konten promosi Masjid Al-Jabbar. 

Ridwan menegaskan, anggaran tersebut adalah biaya pengadaan konten untuk Museum Digital Rasulullah dan Islam di Nusantara di lantai bawah masjid tersebut. Museum tersebut, kata Ridwan Kamil, “... isinya digital semua".

PT Sembilan Matahari, selaku pihak yang melakukan pengerjaan proyek, dalam berbagai pemberitaan media menjelaskan, konten yang dimaksud merupakan konten diorama yang memadukan multimedia, teknologi, dan interior masjid untuk menciptakan experience tertentu bagi pengunjung, seperti video mapping yang mengisahkan perjalanan Isra Mi'raj Rasulullah.

Baca juga: Kontraktor Beri Penjelasan soal Proyek Konten Masjid Al Jabbar Rp 15 Miliar

Cuplikan pernyataan Ridwan Kamil dan tambahan uraian kontraktor yang mengerjakan konten proyek itu tak urung membuat saya mengernyit. Museum tersebut saat ini belum dibuka untuk umum. Jadi, saya juga belum tahu pasti akan seperti apa persisnya isinya, dan tentu belum bisa berkomentar lebih lanjut lagi terkait hal itu.

Namun, wacana tentang museum yang hanya berisi experience digital boleh dibilang sangat menggelitik. Museum yang isinya digital semua, artinya tidak ada koleksinya? Jadi hanya ada narasi atau cerita dalam bentuk media digital dan experience digital saja?

Kalau hanya berisi experience saja tanpa koleksi, apakah tempat tersebut masih bisa disebut sebagai museum? Kalau tempat yang hanya berisi experience saja bisa disebut museum, lantas, apakah keberadaan koleksi masih jadi hal penting di museum?

Dari Koleksi ke Experience

Menilik sejarahnya, kemunculan museum sesungguhnya berawal dari adanya koleksi. Cikal-bakal museum adalah Cabinet of Curiousities yang menjamur di Eropa pada abad ke-16, sebagai tempat orang-orang kaya dan para bangsawan memajang koleksi-koleksi pribadi mereka yang antik dan eksotis.

Beberapa museum terkenal dunia, seperti British Museum di Inggris, merupakan pengembangan dari koleksi-koleksi pribadi di Cabinet of Curiousities tersebut. Pada masa-masa itu, koleksi adalah fokus dari tujuan dan fungsi museum.

Pada medio hingga akhir abad ke-20, berkembang gagasan museologi pembaharuan yang salah satunya mendorong paradigma museum agar bergeser dari berpusat-pada-koleksi (collection-centered) menjadi berpusat-pada-audiens (audience-centered). Bukan hanya merawat dan memamerkan koleksi, museum juga dituntut untuk menjadi relevan bagi audiensnya dengan menjalankan fungsi-fungsi edukasi serta hiburan.

Dalam rangka menjalankan fungsi edukasi dan hiburan itu, museum mulai mengembangkan metode-metode untuk menyajikan narasi atau cerita, juga experience yang biasa diartikan sebagai pengalaman berkunjung yang berkesan bagi para audiensnya.

Baca juga: Saatnya Virtual Traveling, 16 Museum Digital Indonesia yang Bisa Dikunjungi

 

Mulai dari yang sederhana seperti narasi atau cerita dalam bentuk poster yang ditempel di dinding museum, inisiatif acara yang memberikan experience berbeda, seperti jelajah malam di museum, hingga tren media digital seperti augmented reality, virtual reality, dan video mapping yang mampu menghadirkan cerita dan experience secara lebih hidup dan menarik. Tak ayal, banyak museum tak ingin ketinggalan gerbong dalam mengadopsinya.

Museum digital di Tokyo, Jepang.Instagram @teamlab_news Museum digital di Tokyo, Jepang.
Museum Tanpa Koleksi?

Lantas apakah di masa depan, akhirnya experience akan mengambil alih museum dari tangan koleksi?

Menurut pandangan saya, tidak dan tidak seharusnya. Tidak semestinya identitas museum direduksi menjadi sebatas experience center. Koleksi selayaknya tetap mendapat tempat penting di museum karena sedikitnya satu alasan fundamental: koleksi adalah evidence-based atau landasan bukti, yang menjadikan segala narasi, cerita, dan experience yang dihadirkan museum dapat dipercaya.

Tahun 2021, American Alliance of Museums melakukan survei pada 1.200 orang di Amerika Serikat (AS) dan menemukan bahwa masyarakat jauh lebih memercayai informasi di museum dibanding informasi dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), surat kabar, ataupun organisasi lainnya.

Mengapa? Dua alasan terbanyak yang dikemukakan adalah karena museum berbasis fakta, dan museum bisa membuktikannya melalui keberadaan obyek asli/otentik/original.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com