Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Museum Digital dan Masa Depan Koleksi Museum

Ridwan menegaskan, anggaran tersebut adalah biaya pengadaan konten untuk Museum Digital Rasulullah dan Islam di Nusantara di lantai bawah masjid tersebut. Museum tersebut, kata Ridwan Kamil, “... isinya digital semua".

PT Sembilan Matahari, selaku pihak yang melakukan pengerjaan proyek, dalam berbagai pemberitaan media menjelaskan, konten yang dimaksud merupakan konten diorama yang memadukan multimedia, teknologi, dan interior masjid untuk menciptakan experience tertentu bagi pengunjung, seperti video mapping yang mengisahkan perjalanan Isra Mi'raj Rasulullah.

Cuplikan pernyataan Ridwan Kamil dan tambahan uraian kontraktor yang mengerjakan konten proyek itu tak urung membuat saya mengernyit. Museum tersebut saat ini belum dibuka untuk umum. Jadi, saya juga belum tahu pasti akan seperti apa persisnya isinya, dan tentu belum bisa berkomentar lebih lanjut lagi terkait hal itu.

Namun, wacana tentang museum yang hanya berisi experience digital boleh dibilang sangat menggelitik. Museum yang isinya digital semua, artinya tidak ada koleksinya? Jadi hanya ada narasi atau cerita dalam bentuk media digital dan experience digital saja?

Kalau hanya berisi experience saja tanpa koleksi, apakah tempat tersebut masih bisa disebut sebagai museum? Kalau tempat yang hanya berisi experience saja bisa disebut museum, lantas, apakah keberadaan koleksi masih jadi hal penting di museum?

Dari Koleksi ke Experience

Menilik sejarahnya, kemunculan museum sesungguhnya berawal dari adanya koleksi. Cikal-bakal museum adalah Cabinet of Curiousities yang menjamur di Eropa pada abad ke-16, sebagai tempat orang-orang kaya dan para bangsawan memajang koleksi-koleksi pribadi mereka yang antik dan eksotis.

Beberapa museum terkenal dunia, seperti British Museum di Inggris, merupakan pengembangan dari koleksi-koleksi pribadi di Cabinet of Curiousities tersebut. Pada masa-masa itu, koleksi adalah fokus dari tujuan dan fungsi museum.

Pada medio hingga akhir abad ke-20, berkembang gagasan museologi pembaharuan yang salah satunya mendorong paradigma museum agar bergeser dari berpusat-pada-koleksi (collection-centered) menjadi berpusat-pada-audiens (audience-centered). Bukan hanya merawat dan memamerkan koleksi, museum juga dituntut untuk menjadi relevan bagi audiensnya dengan menjalankan fungsi-fungsi edukasi serta hiburan.

Dalam rangka menjalankan fungsi edukasi dan hiburan itu, museum mulai mengembangkan metode-metode untuk menyajikan narasi atau cerita, juga experience yang biasa diartikan sebagai pengalaman berkunjung yang berkesan bagi para audiensnya.

Mulai dari yang sederhana seperti narasi atau cerita dalam bentuk poster yang ditempel di dinding museum, inisiatif acara yang memberikan experience berbeda, seperti jelajah malam di museum, hingga tren media digital seperti augmented reality, virtual reality, dan video mapping yang mampu menghadirkan cerita dan experience secara lebih hidup dan menarik. Tak ayal, banyak museum tak ingin ketinggalan gerbong dalam mengadopsinya.

Menurut pandangan saya, tidak dan tidak seharusnya. Tidak semestinya identitas museum direduksi menjadi sebatas experience center. Koleksi selayaknya tetap mendapat tempat penting di museum karena sedikitnya satu alasan fundamental: koleksi adalah evidence-based atau landasan bukti, yang menjadikan segala narasi, cerita, dan experience yang dihadirkan museum dapat dipercaya.

Tahun 2021, American Alliance of Museums melakukan survei pada 1.200 orang di Amerika Serikat (AS) dan menemukan bahwa masyarakat jauh lebih memercayai informasi di museum dibanding informasi dari pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), surat kabar, ataupun organisasi lainnya.

Mengapa? Dua alasan terbanyak yang dikemukakan adalah karena museum berbasis fakta, dan museum bisa membuktikannya melalui keberadaan obyek asli/otentik/original.

Apa yang membuat belajar sejarah dari museum berbeda dengan belajar sejarah dari buku atau film? Di museum, kita bisa melihat langsung bukti nyata berupa koleksi aslinya. Hal yang tidak bisa kita dapatkan dari membaca buku atau menonton film saja.

Apa yang membuat kunjungan ke suatu museum memorial bisa menjadi lebih terpercaya dibanding sekadar mendengar cerita saja? Ketika datang ke museum memorial, kita berada langsung di tempat terjadinya suatu peristiwa, kita dihadapkan langsung pada kenyataan bahwa sesuatu benar-benar pernah terjadi di sana. Hal yang tidak akan kita dapatkan dari mendengarkan cerita saja.

Kalau museum hanya menyajikan cerita dan experience saja, tanpa ada satu pun koleksi yang menjadi dasarnya, apa bedanya museum dengan bioskop?

Kembali ke soal museum digital di Masjid Al-Jabbar, kalau sama sekali tidak ada koleksinya, apa bedanya menonton video mapping cerita Isra' Mi'raj Rasulullah di museum digital itu dengan menonton film di wahana 3D seperti teater Keong Mas atau Dufan?

Atau, seperti yang dipertanyakan seorang netizen di Twitter ketika membalas twit Ridwan Kamil soal museum digital itu: apa nilai tambahnya konten museum digital itu dibanding konten website atau aplikasi saja?

Mumpung museumnya saat ini belum dibuka, sepertinya masih ada waktu dan kesempatan untuk berharap agar Museum Digital Rasulullah di Masjid Al-Jabbar, meski katanya "isinya digital semua", tapi masih punya setidaknya satu koleksi sebagai landasan bukti segala cerita dan experience yang dihadirkannya.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/01/18/151754965/museum-digital-dan-masa-depan-koleksi-museum

Terkini Lainnya

Uni Eropa Segera Larang Retinol Dosis Tinggi di Produk Kecantikan

Uni Eropa Segera Larang Retinol Dosis Tinggi di Produk Kecantikan

Tren
Hamas Terima Usulan Gencatan Senjata, Israel Justru Serang Rafah

Hamas Terima Usulan Gencatan Senjata, Israel Justru Serang Rafah

Tren
Pengakuan TikToker Bima Yudho Dapat Tawaran Endorse Bea Cukai, DBC: Tak Pernah Ajak Kerja Sama

Pengakuan TikToker Bima Yudho Dapat Tawaran Endorse Bea Cukai, DBC: Tak Pernah Ajak Kerja Sama

Tren
Mengenal Rafah, Tempat Perlindungan Terakhir Warga Gaza yang Terancam Diserang Israel

Mengenal Rafah, Tempat Perlindungan Terakhir Warga Gaza yang Terancam Diserang Israel

Tren
Fortuner Polda Jabar Tabrak Elf Picu Kecelakaan di Tol MBZ, Pengemudi Diperiksa Propam

Fortuner Polda Jabar Tabrak Elf Picu Kecelakaan di Tol MBZ, Pengemudi Diperiksa Propam

Tren
Alasan Polda Metro Jaya Kini Kirim Surat Tilang via WhatsApp

Alasan Polda Metro Jaya Kini Kirim Surat Tilang via WhatsApp

Tren
UPDATE Identitas Korban Meninggal Tabrakan KA Pandalungan Vs Mobil di Pasuruan, Berasal dari Ponpes Sidogiri

UPDATE Identitas Korban Meninggal Tabrakan KA Pandalungan Vs Mobil di Pasuruan, Berasal dari Ponpes Sidogiri

Tren
Salinan Putusan Cerai Ria Ricis Beredar di Medsos, Bagaimana Aturan Publikasi Dokumen Perceraian?

Salinan Putusan Cerai Ria Ricis Beredar di Medsos, Bagaimana Aturan Publikasi Dokumen Perceraian?

Tren
Spyware Mata-mata asal Israel Diduga Dijual ke Indonesia

Spyware Mata-mata asal Israel Diduga Dijual ke Indonesia

Tren
Idap Penyakit Langka, Seorang Wanita di China Punya Testis dan Kromosom Pria

Idap Penyakit Langka, Seorang Wanita di China Punya Testis dan Kromosom Pria

Tren
Ribuan Kupu-kupu Serbu Kantor Polres Mentawai, Fenomena Apa?

Ribuan Kupu-kupu Serbu Kantor Polres Mentawai, Fenomena Apa?

Tren
Ramai soal Susu Dicampur Bawang Goreng, Begini Kata Ahli Gizi

Ramai soal Susu Dicampur Bawang Goreng, Begini Kata Ahli Gizi

Tren
57 Tahun Hilang Saat Perang Vietnam, Tentara Amerika Ini 'Ditemukan'

57 Tahun Hilang Saat Perang Vietnam, Tentara Amerika Ini "Ditemukan"

Tren
5 Tahun Menjabat, Sekian Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR RI

5 Tahun Menjabat, Sekian Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR RI

Tren
Kisah Celia, Wanita yang Tidak Makan Selama 4 Tahun akibat Sindrom Langka

Kisah Celia, Wanita yang Tidak Makan Selama 4 Tahun akibat Sindrom Langka

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke