Sebagian besar mengincar spot-spot selancar di pulau-pulau kecil di Kepulauan Mentawai. Sebagian yang lain sekadar leyeh-leyeh bersama keluarga (banyak yang mengajak anak-anak di bawah 10 tahun).
Sejumlah turis memilih trekking di perbukitan dan sebagian kecil melakukan penelitian dan pendokumentasian, seperti dilakukan Peter dari Jerman yang sangat khusuk merekam ritual di Desa Matotonan.
Begitulah, seperti dikatakan Ketum ATL Pudentia dalam seminar, “Orang-orang Eropa dan Asia lain, mengapa tertarik ke sini? Jauh, transportasi susah, makanan terbatas. Apa yang mereka cari kalau bukan tradisi yang masih asli dan khas ini? Kalau para sikerei habis, Mentawai khususnya Matotonan tidak menarik lagi, sama dengan lainnya. Tidak ada yang mau datang ke sini.”
Kepercayaan Mentawai memang belum pudar hingga saat ini, meski jumlah sikerei makin menyusut karena tidak adanya regenerasi.
Saat ini hanya tersisa 43 KK (kepala keluarga) sikerei (jika suami sikerei, istri otomatis juga sikerei) di Matotonan. Jumlah sikerei itu pun terbanyak di antara desa-desa lain di Kepulauan Mentawai.
Para sikerei tersebut berusia di atas 50 tahun, sebagian besar 60-an tahun, dan beberapa di antaranya berusia hampir 70 tahun.
Martinus (65), pemimpin para sikerei, terdengar pesimistis ketika saya tanya mengenai keberadaan sikerei di masa depan. Apakah 50 tahun lagi masih ada sikerei di Mentawai?
“Saya rasa sudah tidak ada lagi, karena sekarang pun sudah tidak ada penerus, semuanya sudah tua,” ujar Martinus, yang sudah 25 tahun menjadi sikerei.
Saat ini, sikerei tertua di Matotonan adalah Ogo Toitet (70), yang sudah 30 tahun menjadi sikerei. Jika tidak ada lagi sikerei, apakah beragam ritual dan tradisi lisan setempat berikut praktik pengobatan “herbal—spiritual” turut lenyap? Pasti akan hilang.
Baca juga: Mentawai, Salah Satu Suku Tertua di Dunia
Sikerei (si kerei) adalah orang yang mampu melakukan kerei atau komunikasi dengan makhluk gaib sebagai penghubung dengan Sang Pencipta.
Untuk menjadi sikerei, usia minimal 40 tahun. Menjadi sikerei memang tidak mudah. Syarat dan pantangannya banyak, dan kini makin sulit menemukan anak-anak sikerei yang mau melanjutkan jejak leluhurnya.
Mereka memilih untuk bekerja di kota sebagai pegawai. Jika tetap berada di kampung, mereka tidak sanggup berdisiplin untuk menghindari pantangan dan menjalani kewajiban.
“Menjadi sikerei itu, otak harus tua, bijaksana. Banyak kawan. Tidak boleh merusak. Harus ikhlas menolong orang. Menghapal dan menghayati mantra. Pantangannya banyak, tidak boleh makan lojo (belut), loga (tupai), laipat, jokcan….. “ kata Martinus menyebut nama-nama hewan yang tidak boleh dimakan dan pantangan-pantangan lain.
Sikerei juga harus menyiapkan berbagai hal saat melakukan ritual yang semuanya demi keselamatan dan kesejahteraan warga desa.
Kepercayaan Mentawai atau sabulungan/ulau manua adalah melakukan ritual keselamatan melalui binatang yaitu babi dan ayam serta tetumbuhan (Jon Effendi dkk dalam Sejarah Budaya dan Ekowisata Matotonan, 2020). Dalam siklus kehidupan manusia sejak lahir hingga mati, terdapat banyak momen untuk diperingati dengan cara didoakan agar jalan hidup selanjutnya lebih mudah dan penuh berkah.
Beragam ritual dilakukan demi bersih jiwa dan raga. Ritual pangurai (pernikahan), irig (peresmian keluarga baru), paabat (rekonsiliasi konflik), simamatei (pengusiran roh), sipututukmata (kelahiran), gurut uma (pertama kali bekerja), liat abag (pesta sampan baru), dan masih ada sejumlah ritual lagi.
Dalam setiap pelaksanaan ritual, semua warga bergotong-royong menyiapkan kayu bakar, bahan makanan, babi, ayam, bumbu-bumbu, dan ubo rampe lain.
Lya eeruk adalah sebuah ritual bersih desa untuk menandai serta merayakan siklus kehidupan keluarga dan masyarakat di Mentawai. Lya berarti pesta dan eeruk berarti penutupan atau puncak (pesta itu).
Di dalam siklus kehidupan, mulai kelahiran, pernikahan, hingga kematian, termuat identitas diri dalam konteks personal maupun sosial yang dibingkai oleh budaya setempat. Oleh karena itu, peran sikerei sangat sentral sebagai pemimpin dan pelaku ritual.
Pesta eeruk pada tanggal 8 Agustus 2022 berlangsung meriah sejak pagi hingga tengah malam, dilanjutkan acara mencari ikan bersama pada tanggal 9 Agustus 2022 dan puncak acara ulang tahun Matotonan pada 10 Agustus 2022.