Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Plus Minus Cuti Melahirkan 6 Bulan seperti Usulan dalam RUU KIA

Kompas.com - 22/06/2022, 19:00 WIB
Retia Kartika Dewi,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

Perlindingan perempuan dan produktivitas usaha

Terkait usulan cuti 6 bulan bagi ibu melahirkan dalam RUU KIA, pengamat kebijakan publik Universitas Gadjah Mada (UGM) Gabriel Lele menilai pemerintah harus bisa mengelola dilema yang ada.

“Ada dilema yang harus dikelola pemerintah antara perlindungan perempuan atau ibu dengan produktivitas usaha,” ujarnya, saat dihubungi Kompas.com, Minggu (19/6/2022).

Gabriel mengingatkan, dari kacamata perlindungan perempuan, kebijakan ini bagus, tetapi harus pula diseimbangkan dengan kebutuhan industri.

“Jauh lebih baik jika pemerintah memberi waktu cuti 1 tahun, sehingga masa kosong itu bisa diisi tenaga yang lain dulu sebelum ibu melahirkan diaktifkan kembali,” kata Dia.

Namun, jika kebijakan cuti melahirkan 6 bulan tetap dijalankan, Gabriel menyarankan, untuk ibu melahirkan, harus ada skema subsidi atau proteksi selama cuti.

Kemudian, pengaturan di perusahaan supaya tidak ada diskriminasi ke depan, tetapi di saat yang sama bisnis tetap normal.

Selanjutnya, harus ada pengaturan agar tidak ada diskriminasi terhadap rekrutmen perempuan dengan ditegakkannya merit system. Rekrutmen diutamakan berdasarkan kompetensinya.

Tanggapan Komnas Perempuan

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan, pihaknya menyambut baik upaya RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA).

Andy dan tim Komnas Perempuan juga mengaku sudah mencermati isi dari RUU KIA.

"Komnas Perempuan mengapresiasi usulan cuti hamil dan melahirkan selama 6 bulan sebagai bagian dari upaya menguatkan hak maternitas perempuan, dimana 3 bulan pertama tetap dibayarkan upah 100 persen dan 3 bulan berikutnya 75 persen," ujar Andy saat dihubungi Kompas.com, Selasa (21/6/2022).

Namun Komnas Perempuan juga mengingatkan bahwa penerapannya membutuhkan alokasi anggaran yang cukup dan mensyaratkan pengawasan yang ketat, mengingat berbagai pelanggaran yang terjadi terhadap UU Ketenagakerjaan selama ini.

"Komnas Perempuan melihat aturan tersebut dapat berpotensi menjadi penghambat hak bekerja perempuan yang juga dilindungi oleh undang-undang," kata Andy.

Karena itu pihaknya juga ingin memastikan bahwa korporasi untuk tunduk pada aturan, termasuk tidak melakukan pembatasan kesempatan kerja pada masa rekrutmen tenaga kerja perempuan.

"Perlu dilengkapi dengan langkah afirmasi tambahan untuk memastikan pengambilan cuti ini tidak akan mempengaruhi kesempatan pengembangan karir," jelas dia.

(Sumber: Kompas.com/Nur Rohmi Aida, Mita Amalia Hapsari | Editor: Rendika Ferri Kurniawan, Irfan Maullana). 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Kisah Nenek di Jepang, Beri Makan Gratis Ratusan Anak Selama Lebih dari 40 Tahun

Kisah Nenek di Jepang, Beri Makan Gratis Ratusan Anak Selama Lebih dari 40 Tahun

Tren
Ramai soal Uang Rupiah Diberi Tetesan Air untuk Menguji Keasliannya, Ini Kata BI

Ramai soal Uang Rupiah Diberi Tetesan Air untuk Menguji Keasliannya, Ini Kata BI

Tren
Benarkah Pegawai Kontrak yang Resign Dapat Uang Kompensasi?

Benarkah Pegawai Kontrak yang Resign Dapat Uang Kompensasi?

Tren
Peneliti Ungkap Hujan Deras Dapat Picu Gempa Bumi, Terjadi di Perancis dan Jepang

Peneliti Ungkap Hujan Deras Dapat Picu Gempa Bumi, Terjadi di Perancis dan Jepang

Tren
Pengguna Jalan Tol Wajib Daftar Aplikasi MLFF Cantas, Mulai Kapan?

Pengguna Jalan Tol Wajib Daftar Aplikasi MLFF Cantas, Mulai Kapan?

Tren
BMKG Keluarkan Peringatan Kekeringan Juni-November 2024, Ini Daftar Wilayahnya

BMKG Keluarkan Peringatan Kekeringan Juni-November 2024, Ini Daftar Wilayahnya

Tren
Ada Potensi Kekeringan dan Banjir secara Bersamaan Saat Kemarau 2024, Ini Penjelasan BMKG

Ada Potensi Kekeringan dan Banjir secara Bersamaan Saat Kemarau 2024, Ini Penjelasan BMKG

Tren
Pengakuan Istri, Anak, dan Cucu SYL soal Dugaan Aliran Uang dari Kementan

Pengakuan Istri, Anak, dan Cucu SYL soal Dugaan Aliran Uang dari Kementan

Tren
Biaya Maksimal 7 Alat Bantu Kesehatan yang Ditanggung BPJS, Ada Kacamata dan Gigi Palsu

Biaya Maksimal 7 Alat Bantu Kesehatan yang Ditanggung BPJS, Ada Kacamata dan Gigi Palsu

Tren
Kronologi Mayat Dalam Toren Air di Tangsel, Diduga Tetangga Sendiri

Kronologi Mayat Dalam Toren Air di Tangsel, Diduga Tetangga Sendiri

Tren
Daftar Negara Barat yang Kutuk Serangan Israel ke Rafah, Ada Perancis Juga Jerman

Daftar Negara Barat yang Kutuk Serangan Israel ke Rafah, Ada Perancis Juga Jerman

Tren
Apa Itu Indeks Massa Tubuh? Berikut Pengertian dan Cara Menghitungnya

Apa Itu Indeks Massa Tubuh? Berikut Pengertian dan Cara Menghitungnya

Tren
Berapa Detak Jantung Normal Berdasarkan Usia? Simak Cara Mengukurnya

Berapa Detak Jantung Normal Berdasarkan Usia? Simak Cara Mengukurnya

Tren
Gaji Pekerja Swasta Dipotong 2,5 Persen untuk Tapera, Apa Manfaatnya?

Gaji Pekerja Swasta Dipotong 2,5 Persen untuk Tapera, Apa Manfaatnya?

Tren
Cara Download Aplikasi IKD untuk Mendapatkan KTP Digital

Cara Download Aplikasi IKD untuk Mendapatkan KTP Digital

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com