Sementara untuk pembelian gerai yang sudah beroperasional dengan sistem take over, minimal dibutuhkan dana awal sebesar Rp 800 juta, tergantung harga sewa lokasi dan nilai penjualan per harinya.
Jika tergolong gerai kelas A yang berada di lokasi strategis dengan penjualan yang ramai, untuk penjualan bersih di antara Rp 150 – Rp 175 juta, ada royalti 1 persen yang harus dibayarkan pemilik gerai kepada pemegang lisensi waralaba.
Sementara untuk penjualan bersih di antara Rp 200 hingga Rp 250 juta, ada pungutan royalti 3 persen.
Sementara yang penjualan bersihnya mencapai di atas Rp 250 juta, dikenakan royalti 4 persen.
Tentu saja royalti itu dihitung secara progesif dari penjualan bersih dan belum termasuk pajak.
Dengan semakin mengguritanya berbagai jaringan waralaba di seluruh penjuru tanah air dan memberikan aspek keadilan bagi rakyat yang tidak mampu membuka gerai-gerai tersebut yang harus “berkiblat” kepada pemegang franchise serta menguatkan koperasi sebagai soko guru perekonomian, tidak ada salahnya belajarlah kepada Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Jogyakarta.
Saat Hasto Wardoyo (kini Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional/BKKBN) menjabat bupati Kulon Progo (2011-2019), jaringan waralaba minimarket “diperketat” izinnya untuk buka di seantero Kulon Progo.
Hasto ingin memberikan perlindungan dan keberpihakan bagi toko-toko kelontong milik warga.
Di satu sisi, Hasto juga mendapat “tekanan” dari Pusat soal tidak bolehnya ada hambatan investasi di daerah serta “ancaman” laskar preman yang pasti bisa diduga dari siapa pengerahnya.
Hasto juga tidak bisa menafikan globalisasi, tetapi sikap dan komitmen terhadap ekonomi kerakyatannya menjadikan jaringan waralaba tidak bisa seenaknya membuka gerai-gerai di Kulon Progo.
Hasto paham, investor minimarket justru berasal dari perorangan yang bukan penduduk lokal. Unsur pemberdayaan warga juga menjadi pertimbangan selain akses pemasaran produk-produk lokal.
Minimarket berjaringan baru boleh beroperasi jika telah bekerjasama dengan koperasi yang telah ada.
Jika sudah menjalin kerjasama dengan koperasi, barulah boleh membuka gerai berjaringan dan harus pula memperhatikan radius jarak dengan toko-toko kelontong yang sudah ada.
Koperasi di Kulon Progo yang bekerjasama dengan jaringan waralaba menyebut gerainya dengan Toko Milik Rakyat atau Tomira.
Tomira juga memberikan akses penjualan produk-produk lokal yang diusahakan warga.
Ketika Karolin Margreth Natasa mulai memimpin Kabupaten Landak di Kalimantan Barat di periode pertamanya tahun 2017, pernah melarang pendirian minimarket berjaringan karena keberpihakannya terhadap pengusaha kecil dan usaha warung warga lokal.
Usaha jaringan gerai nasional baru buka pertama kalinya di Ngabang, ibu kota Kabupaten Landak per 31 Mei 2021.
Itu pun dengan “wanti-wanti” Karolin agar pembukaan gerai harus berkolaborasi dengan pengusaha lokal atau usaha mikro kecil menengah (UMKM).
Mengadopsi strategi Kulon Progo, Bupati Trenggalek, Jawa Timur Mochamad Nur Arifin juga baru mengizinkan pendirian gerai berjaringan jika telah menjalin kerjasama dengan koperasi.
Gus Ipin – demikian sapaan akrabnya untuk bupati berusia belia itu – tidak mau jaringan waralaba mematikan usaha toko pracangan milik warga yang telah hidup turun temurun.
“Pracangan” ini merujuk kepada sebutan toko milik warga yang menjual kebutuhan pokok dan bermodal cekak.