Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Memerdekakan Warung-warung Kerakyatan

Kompas.com - 24/05/2022, 06:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELUM lama ini, warga Singapura rama-ramai membeli makanan yang dijajakan di sebuah warung karena pemiliknya nyaris bangkrut akibat tidak pernah meraup laba.

Berkat viralnya video yang mengkisahkan ancaman kebangkrutan warung tersebut, para pembeli menyerbu dagangan warung tersebut hingga ludes.

Para pembeli melakukan cara itu agar warung yang dimiliki Umar Fabrice tidak gulung tikar (Kompas.com, 21 Mei 2022).

Lain di Singapura, lain pula di Cibubur di batas Jakarta Timur dengan Depok, Jawa Barat.

Sebuah warung yang sempat menjadi rujukan warga sebuah kompleks untuk kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako) harus “benar-benar” tutup.

Penyebabnya tidak bisa bersaing dengan kehadiran toko-toko milik jaringan ritel yang kian hari semakin menggurita.

Warung yang pernah begitu berjasa bagi warga karena telur, beras, lampu, bahkan sendal lengkap tersedia, harus menyerah karena tidak kuat menyaingi kehadiran toko-toko ritel yang berkelir seragam, berpenerangan maksimal dan berpendingin ruangan.

Sementara toko kelontong kecil milik orang tua sahabat saya di Langgur, Maluku Tenggara, Maluku juga harus mengibarkan bendera “putih” tanda menyerah.

Selain dampak pandemi yang membuat lesu daya beli warga, kehadiran sebuah minimarket baru juga menggerus pendapatan warung kelontong ala manajemen kampung.

Hampir di setiap jengkal persada nusantara, saya selalu menemukan ritel-ritel berjaringan.

Bahkan di tapal batas negara di Entikong, Kalimantan Barat yang berbatas dengan Sarawak, Malaysia atau di Belu, Nusa Tenggara Timur yang bersebelahan dengan Republik Demokrasi Timor Leste, saya menjumpai toko-toko seragam berwarna kuning, merah dan biru itu.

Indonesia tidak lagi dikenal sebagai negara yang memiliki hamparan sawah menghijau tetapi kini juga sohor dengan kehadiran jaringan ritel-ritel tersebut dari kota besar, daerah kecamatan hingga dusun terpencil sekalipun.

Andai Bung Hatta masih “sugeng” saya tidak bisa membayangkan betapa kecewanya Bapak Koperasi itu melihat negeri yang ikut dibidani kemerdekaannya itu telah “dijajah” kehadiran ritel-ritel berjaringan dan semakin menggurita saja.

Untuk bisa mendirikan sebuah minimarket, dibutuhkan biaya tidak sedikit. Sebuah pewaralaba menawarkan untuk tipe gerai dengan 9 rak dengan luasan 30 meter persegi diperlukan investasi Rp 300 juta dan 18 rak disyaratkan Rp 350 juta.

Sedangkan 36 rak membutuhkan Rp 450 juta dan 45 rak untuk area penjualan 100 meter persegi butuh Rp 500 juta.

Tipe kerjasama franchise yang ditawarkan mencakup skema gerai baru di mana calon pembuka gerai mengajukan usulan lokasi untuk pembukaan gerai baru.

Lalu ada tawaran konversi dari calon investor untuk mengajukan usulan lokasi yang masih berupa toko kelontong atau minimarket agar bisa dikembangkan menjadi gerai yang lebih besar.

Dan terakhir ada skema gerai take over di mana calon investor bisa mengambil alih gerai yang masih operasional dan yang telah dimiliki pewaralaba.

Pembukaan gerai baru yang berasal dari usulan calon pembuka waralaba membutuhkan nilai investasi yang bervariasi, berkisar di angka Rp 500 juta.

Biaya tersebut sudah mencakup franchise fee sebesar Rp 45 juta untuk 5 tahun operasional. Tentu saja nilai estimasi investasi tersebut di luar investasi properti.

Sedangkan franchise gerai baru dengan skema konversi berupa pengembangan minimarket lokal atau toko kelontong, pewaralaba menawarkan pengakuan barang dagangan milik toko kelontong sebelumnya sebagai barang dagangan untuk stok pembukaan gerai “baru” waralaba atau rak milik toko yang lama dapat digunakan dan diakui sebagai pengurangan biaya investasi. Tentu saja rak toko harus sesuai dengan standar rak gerai dari pewaralaba.

Sementara untuk pembelian gerai yang sudah beroperasional dengan sistem take over, minimal dibutuhkan dana awal sebesar Rp 800 juta, tergantung harga sewa lokasi dan nilai penjualan per harinya.

Jika tergolong gerai kelas A yang berada di lokasi strategis dengan penjualan yang ramai, untuk penjualan bersih di antara Rp 150 – Rp 175 juta, ada royalti 1 persen yang harus dibayarkan pemilik gerai kepada pemegang lisensi waralaba.

Sementara untuk penjualan bersih di antara Rp 200 hingga Rp 250 juta, ada pungutan royalti 3 persen.

Sementara yang penjualan bersihnya mencapai di atas Rp 250 juta, dikenakan royalti 4 persen.

Tentu saja royalti itu dihitung secara progesif dari penjualan bersih dan belum termasuk pajak.

Berikan hak hidup untuk warung kelontong

Dengan semakin mengguritanya berbagai jaringan waralaba di seluruh penjuru tanah air dan memberikan aspek keadilan bagi rakyat yang tidak mampu membuka gerai-gerai tersebut yang harus “berkiblat” kepada pemegang franchise serta menguatkan koperasi sebagai soko guru perekonomian, tidak ada salahnya belajarlah kepada Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Jogyakarta.

Saat Hasto Wardoyo (kini Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional/BKKBN) menjabat bupati Kulon Progo (2011-2019), jaringan waralaba minimarket “diperketat” izinnya untuk buka di seantero Kulon Progo.

Hasto ingin memberikan perlindungan dan keberpihakan bagi toko-toko kelontong milik warga.

Di satu sisi, Hasto juga mendapat “tekanan” dari Pusat soal tidak bolehnya ada hambatan investasi di daerah serta “ancaman” laskar preman yang pasti bisa diduga dari siapa pengerahnya.

Hasto juga tidak bisa menafikan globalisasi, tetapi sikap dan komitmen terhadap ekonomi kerakyatannya menjadikan jaringan waralaba tidak bisa seenaknya membuka gerai-gerai di Kulon Progo.

Hasto paham, investor minimarket justru berasal dari perorangan yang bukan penduduk lokal. Unsur pemberdayaan warga juga menjadi pertimbangan selain akses pemasaran produk-produk lokal.

Minimarket berjaringan baru boleh beroperasi jika telah bekerjasama dengan koperasi yang telah ada.

Jika sudah menjalin kerjasama dengan koperasi, barulah boleh membuka gerai berjaringan dan harus pula memperhatikan radius jarak dengan toko-toko kelontong yang sudah ada.

Koperasi di Kulon Progo yang bekerjasama dengan jaringan waralaba menyebut gerainya dengan Toko Milik Rakyat atau Tomira.

Tomira juga memberikan akses penjualan produk-produk lokal yang diusahakan warga.

Ketika Karolin Margreth Natasa mulai memimpin Kabupaten Landak di Kalimantan Barat di periode pertamanya tahun 2017, pernah melarang pendirian minimarket berjaringan karena keberpihakannya terhadap pengusaha kecil dan usaha warung warga lokal.

Usaha jaringan gerai nasional baru buka pertama kalinya di Ngabang, ibu kota Kabupaten Landak per 31 Mei 2021.

Itu pun dengan “wanti-wanti” Karolin agar pembukaan gerai harus berkolaborasi dengan pengusaha lokal atau usaha mikro kecil menengah (UMKM).

Mengadopsi strategi Kulon Progo, Bupati Trenggalek, Jawa Timur Mochamad Nur Arifin juga baru mengizinkan pendirian gerai berjaringan jika telah menjalin kerjasama dengan koperasi.

Gus Ipin – demikian sapaan akrabnya untuk bupati berusia belia itu – tidak mau jaringan waralaba mematikan usaha toko pracangan milik warga yang telah hidup turun temurun.

“Pracangan” ini merujuk kepada sebutan toko milik warga yang menjual kebutuhan pokok dan bermodal cekak.

Kebijakan Gus Ipin cukup berdampak bagi pengembangan usaha sektor riel di masyarakat bawah Trenggalek.

Koperasi bisa mendapat tempat utama di masyarakat serta tetap eksis membantu kehidupan ekonomi warga.

Jaringan gerai waralaba baru boleh beroperasi di Trenggalek jika telah menggandeng koperasi.

“Usaha Gotong Royong” adalah penamaan baru untuk jaringan gerai waralaba yang telah menjalin kerjasama dengan koperasi.

Bahkan tidak sedikit koperasi di Trenggalek memiliki aset yang fantastis. Misalnya, Koperasi Serba Usaha Sumber Makmur yang sudah bekerjasama dengan jaringan waralaba dan telah membuka dua gerai baru, memiliki aset sebesar Rp 79 miliar.

Jaringan usahanya mencakup koperasi simpan pinjam, usaha ritel, dan penyewaan alat-alat pesta.

Penyaluran dana tanggungjawab sosial (CSR) saja sudah tersalurkan Rp 900 juta sejak koperasi tersebut didirikan tahun 2003 lalu (Tidak Ada Koperasi Seperti “Layangan Putus” di Trenggalek, Kompas.com, 14/02/2022).

Butuh kepala daerah prorakyat

Andai saja kepala-kepala daerah di tanah air memiliki visi kepemimpinan dan keberpihakan terhadap rakyat kecil seperti Hasto Wardoyo di Kulon Progo, Gus Ipin di Trenggalek serta Karoline Margreth Natasa di Landak, maka pengusaha lemah, usaha toko pracangan dan kelontong kecil akan menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri.

Mereka tidak akan bangkrut dan hanya menjadi penonton gegap gempitanya pendirian jaringan gerai waralaba.

Saya bersyukur bisa menjadi saksi dan intens mengunjungi ke tiga kabupaten tersebut dan mengetahui kondisi di lapangan.

Alih-alih berpihak kepada usaha rakyat kecil, kasus dugaan korupsi Walikota Ambon Richard Louhenapessy yang dibidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru terkait dengan “banjir” izin pendirian sejumlah besar gerai jaringan waralaba di Kota Ambon, Maluku (Kompas.com, 18/05/2022).

Setiap proses penerbitan dokumen izin pendirian gerai baru seperti izin tempat usaha dan izin usaha perdagangan, sang wali kota “mendagangkan” dengan tarif Rp 25 juta.

KPK menduga, orang nomor satu di Ambon itu mendapat fee Rp 500 juta untuk 20 dokumen pendirian gerai usaha retail.

Meminjam kajian “Localising Power in Post Authoritarian Indonesia” dari Vedi R. Hadiz, praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan seperti kasus Wali Kota Ambon adalah buah dari kegagalan proyek desentralisasi dan demokratisasi lokal.

Ada dua aliran pemikiran yang menjadi arus besar pandangan dalam interpretasi tentang desentralisasi dan globalisasi.

Pertama, yang Hadiz sebut neoliberalisme dan neoinstitusionalisme yang menarasikan desentralisasi adalah keharusan sejarah yang diperuntukkan bagi rasionalisasi ekonomi dan bekerjanya sistem pasar.

Kedua, yang Hadiz kritik soal populisme lokal bahwa globalisasi yang menyertakan desentralisasi membawa serta ancaman bagi terjadinya hegemoni kultur lokal dan kapasitas produksi lokal.

Munculnya kekuatan predatorial di tingkat lokal – seperti semakin hilangnya warung-warung “pracangan” milik rakyat – yang tidak memberikan dukungan bagi bekerjanya sistem pasar rasional hanyalah tinggal waktu.

Selain keberpihakkan kepada rakyat kecil, seorang kepala daerah semestinya “menabung” legacy akan kepemimpinannya selama ini. Apakah akan meninggalkan jejak prestasi atau “luka” di hati warganya.

Dan sejarah akan mencatat, apakah kita akan melindungi wong cilik atau malah “menghabisi” nasib rakyat jelata!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com