Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Kesetaraan, PR Hari Ibu dari Masa ke Masa dengan 3 Contoh Kasus

Kompas.com - 22/12/2021, 19:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Serial Hari Ibu

ENTAH salah belok di mana, sejarah manusia dari masa ke masa hingga hari ini masih saja menyisakan pekerjaan rumah alias PR tentang kesetaraan perempuan. Ini enggak spesifik kasus di Indonesia, sebenarnya.

Namun, momentum peringatan Hari Ibu adalah waktu yang tepat untuk sedikit berkaca. Bahkan pada era yang katanya modern, kesenjangan laki-laki dan perempuan masih terus terjadi dalam banyak wajah. 

Sebelum membahas itu, peringatan Hari Ibu di Indonesia pun semakin hari lebih mendekati pemaknaan Mother's Day di negeri nun jauh di mata sana. Padahal, beda. 

Baca juga: Beda Hari Ibu di Indonesia dan Negara Lain

Sejarah Hari Ibu di Indonesia lebih kental nuansa pergerakan dan kesetaraan perempuan dibanding bobot pengungkapan kasih sayang pada Mother's Day di luar negeri.

Enggak salah juga mengungkapkan kasih kepada para ibu di Hari Ibu. Namun, ada makna lebih luas yang patut diingat dan dihidupkan kembali dalam peringatan Hari Ibu. 

Alasan kesetaraan perempuan masih kerap jauh panggang dari api—bahkan arti kesetaraan sering salah dipahami—bisa sangat beragam dan teramat luas spektrumnya. Debat kusir gampang terjadi juga karenanya.

Tulisan ini enggak akan menjebakkan diri dalam debat kusir tadi. Bila boleh meminta, telusuri kembali saja apa pun argumentasi yang kerap diucap yang mungkin tidak disertai data dan dasar akurat soal posisi dan peran perempuan dalam kehidupan. Mungkin.

Baca juga: Pergerakan, Makna yang Sering Terlewat dari Peringatan Hari Ibu

Daripada debat kusir, menyimak cerita nyata adalah hal yang mungkin lebih bisa kena di hati. Semoga dekat pula dengan kenyataan keseharian, lalu menjadi inspirasi untuk terus menjadi lebih baik lagi.

Cerita Retno Marsudi

Menjadi perempuan Indonesia dalam kultur komunal, budaya yang nyaris menjadi kebenaran tunggal, sekaligus tantangan kenyataan hari ini, sedikit banyak tergambar dari kisah hidup Retno Lestari Priansasi Marsudi.

Betul, perempuan pertama Indonesia yang menjadi Menteri Luar Negeri dan kini msih menjalani periode kedua jabatannya.

Sekitar menit kesembilan dari video di atas, Retno berkisah tentang dunia diplomasi yang dia jalani hingga hari ini. Dia sodorkan fakta dari komposisi laki-laki dan perempuan dari masa ke masa di kementerian dan bidang keahliannya itu.

Baca juga: Profil Retno Marsudi: Nobody, Anak Gunung, dan Perempuan Pertama Jadi Menlu Indonesia

Retno memberikan pula tentang gambaran situasional yang dia hadapi sendiri sebagai perempuan diplomat sekaligus ibu tanpa kehadiran asisten rumah tangga pada suatu masa. Bagi para ibu sekaligus perempuan karier, ini pasti hal-hal yang teramat akrab di keseharian.

Di pengujung kisah, Retno menyemangati para perempuan, termasuk diplomat-diplomat perempuan di kementeriannya, menjadi perempuan yang menjalani karier sekaligus melaksanakan kodrat keibuan memang tidak mudah tetapi bisa. 

Perempuan sekaligus ibu yang atas pilihan dan keputusan sendiri atau tersebab kondisi yang membuatnya harus menjadi perempuan karier, harus diakui memang punya beban lebih berat dibanding laki-laki sekalipun juga seorang ayah.

Kita bisa bilang betapa hebat Retno Marsudi ini setelah menyimak kisahnya. Namun, fakta baru-baru ini bahkan tak memasukkan Retno dalam daftar top-top-an yang mana pun, baik di tataran nasional maupun internasional. 

Sri Mulyani, teman Retno dari SMA, sebaliknya selalu ada dalam daftar-daftar itu. Padahal, Sri Mulyani bila ditanya pun mungkin akan mengakui dahwa dalam capaiannya hingga kini—apalagi bila terkait urusan internasional—akan ada jejak Retno bersamanya. 

Pun soal pandemi Covid-19. Tanpa Retno, akses bagi pemenuhan vaksin pun mungkin butuh jalan lebih panjang dan memutar. Ada banyak lagi. Namun, itulah ironi dari kenyataaan kehidupan. 

Apakah Retno lalu mutung? Rasanya tidak. 

Mari dibalik. Meski tidak selalu populer di pemeringkatan, Retno dan kisahnya membuktikan bahwa perempuan punya peluang dan kemampuan sama besar dengan laki-laki untuk menjadi sesuatu.

Halaman:

Terkini Lainnya

Paus Fransiskus Umumkan 2025 sebagai Tahun Yubileum, Apa Itu?

Paus Fransiskus Umumkan 2025 sebagai Tahun Yubileum, Apa Itu?

Tren
Bisakah Cairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan Tanpa Paklaring Usai Resign?

Bisakah Cairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan Tanpa Paklaring Usai Resign?

Tren
Apa Itu Gerakan Blockout 2024 yang Muncul Selepas Met Gala dan Merugikan Taylor Swift juga Zendaya?

Apa Itu Gerakan Blockout 2024 yang Muncul Selepas Met Gala dan Merugikan Taylor Swift juga Zendaya?

Tren
Balon Udara Meledak di Ponorogo, Korban Luka Bakar 63 Persen, Polisi: Masuk Ranah Pidana

Balon Udara Meledak di Ponorogo, Korban Luka Bakar 63 Persen, Polisi: Masuk Ranah Pidana

Tren
Warga Korsel Dilaporkan Hilang di Thailand dan Ditemukan di Dalam Tong Sampah yang Dicor Semen

Warga Korsel Dilaporkan Hilang di Thailand dan Ditemukan di Dalam Tong Sampah yang Dicor Semen

Tren
Harta Prajogo Pangestu Tembus Rp 1.000 Triliun, Jadi Orang Terkaya Ke-25 di Dunia

Harta Prajogo Pangestu Tembus Rp 1.000 Triliun, Jadi Orang Terkaya Ke-25 di Dunia

Tren
Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Tren
Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Tren
Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Tren
Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Tren
BPJS Kesehatan Tegaskan Kelas Pelayanan Rawat Inap Tidak Dihapus

BPJS Kesehatan Tegaskan Kelas Pelayanan Rawat Inap Tidak Dihapus

Tren
Cara Memindahkan Foto dan Video dari iPhone ke MacBook atau Laptop Windows

Cara Memindahkan Foto dan Video dari iPhone ke MacBook atau Laptop Windows

Tren
Video Viral Pusaran Arus Laut di Perairan Alor NTT, Apakah Berbahaya?

Video Viral Pusaran Arus Laut di Perairan Alor NTT, Apakah Berbahaya?

Tren
Sosok Rahmady Effendi Hutahaean, Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta yang Dilaporkan ke KPK

Sosok Rahmady Effendi Hutahaean, Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta yang Dilaporkan ke KPK

Tren
Harta Eks Kepala Bea Cukai Purwakarta Disebut Janggal, Benarkah Hanya Rp 6,3 Miliar?

Harta Eks Kepala Bea Cukai Purwakarta Disebut Janggal, Benarkah Hanya Rp 6,3 Miliar?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com