SAYA tidak pernah berhenti bersyukur-alhamdullilah bahwa Gus Dur sempat menghapus larangan perayaan Hari Raya Imlek yang memang sempat tidak dibenarkan pada masa Orba.
Bahkan Imlek resmi ditetapkan sebagai Hari Raya Nasional yang pada hakikatnya merupakan bukti nyata tak terbantahkan bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa rasis.
Namun akibat terlalu terhanyut ke dalam euforia bebas rasisme maka ada pula pihak-pihak yang alergi terhadap istilah pribumi karena dianggap sebagai suatu istilah rasisme.
Bahkan istilah pribumi dipolitisir sebagai senjata pembunuhan karakter pihak yang dianggap sebagai lawan politik maka harus dihabisi.
Berdasar penelitian Pusat Studi Kelirumologi dapat disimpulkan bahwa menafsirkan istilah pribumi bersifat diskriminasi ras pada dasarnya keliru alias tidak benar.
Bahwa istilah pribumi ditafsirkan sebagai istilah rasisme justru merupakan fakta penyelewengan makna dari makna pribumi yang sebenarnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah pribumi bermakna penghuni asli yang berasal dari tempat yang bersangkutan.
Sama sekali tidak ada keterkaitan dengan ras, etnis atau suku pada pemaknaan KBBI terhadap istilah pribumi mau pun antonimnya yaitu non-pribumi.
Maka sebenarnya jauh panggang dari api apabila tes DNA dimanfaatkan untuk menentukan siapa yang pribumi serta siapa yang non-pribumi mirip kelirunya penggunaan tes wawasan kebangsaan untuk menyaring demi memecat para anggota KPK yang dianggap berbahaya bagi kepentingan tertentu.
Di dalam bahasa Inggris pribumi disebut sebagai native yang secara etimologis berakar pada bahasa Prancis natif serta Latin nativus yang kesemuanya tidak terkait ras, etnis, suku namun konstitusi dan kronologi penghunian.
Di Amerika Serikat yang disebut native alias pribumi adalah masyarakat Indian-Amerika yang terlebih dahulu sudah bermukim di persada Amerika Serikat jauh sebelum kaum non-pribumi yang berdatangan dari Eropa pada abad XVII.
Di Malaysia, pribumi disebut bumi putera yang di Indonesia menjadi nama perusahaan asuransi tertua.
Saya kagum atas semangat kebangsaan Mahathir Muhamad sebagai warga Malaysia keturunan India berarti non-bumiputera namun gigih memperjuangkan hak ekonomi kaum bumi-putera alias pribumi Malaysia.
Saya juga menghargai sikap warga Malaysia keturunan China yang tidak alergi istilah bumi putera sebab menyadari fakta historis-kronologis bahwa mereka memang kaum pendatang yang datang lebih belakangan ketimbang kaum bumi putera.
Sebagai seorang insan non-pribumi saya berhak merasa tersinggung atau tidak tersinggung jika disebut non-pribumi.
Namun saya pribadi tidak keberatan disebut non-pribumi akibat de facto saya memang bisa saja digolongkan ke non-pribumi.
Saya senantiasa berupaya sadar bahwa sejarah memang membuktikan secara tak terbantahkan bahwa kakek-nenek moyang saya memang datang ke persada Nusantara sebagai kaum pendatang.
Sebutan non-pribumi justru menjadi penyemangat bagi saya untuk meneladani budi-pekerti sesama non-pribumi seperti Tan Yoe Hok, Rudy Hartono, Susi Susanti, Alan Budikusuma, Kwik Kian Gie, Marie Pangestu, Teguh Karya, Budi Darma, John Lie, Dr. Oen dan lain-lain.
Mereka adalah tokoh non-pribumi keturunan China yang telah secara nyata membuktikan pengabdian mereka bagi negara, bangsa, dan rakyat Indonesia setara duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan masyarakat pribumi dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.
Merdeka!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.