Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai Pencuri Dikubur Hidup-hidup Warga, Mengapa Main Hakim Sendiri Masih Marak?

Kompas.com - 29/10/2021, 20:31 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Seorang pencuri di Desa Sindangsar, Kecamatan Cigedug, Garut, Jawa Barat baru-baru ini tewas setelah dihakimi massa.

Pelaku pencurian bernama Manan itu diamankan warga karena dituduh mencuri di gudang sayuran.

Warga menganiaya Maman menggunakan tangan, batu, dan senjata tajam.

Baca juga: Ricuh Demonstrasi Tolak Omnibus Law, Bolehkah Polisi Pakai Kekerasan?

Dari hasil otopsi, korban mengalami luka bacokan di pundak hingga punggung, sementara bagian kepala mengalami luka hantaman batu.

Setelah korban tidak berdaya dan tidak sadarkan diri, para pelaku kemudian memasukkan korban ke dalam karung dan menguburkannya di kaki Gunung Cikuray.

Peristiwa ini menjadi catatan panjang warga main hakim sendiri hingga berujung kematian.

Pada 2017 silam, seorang pria yang dituduh mencuri amplifier mushala di Bekasi dibakar hidup-hidup.

Baca juga: Suporter Sering Berulah, Ada Apa dengan Sepak Bola Kita?

Lantas, mengapa aksi main hakim sendiri masih sering terjadi?

Alasan aksi main hakim sendiri

Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Gatot Repli Handoko dan Ditreskrimum Polda Jatim Kombes Pol Totok Suharyanto saat Melakukan Rilis Ungkap Kasus Kekerasan dan Pengrusakan di 8 Daerah di Jatim, Kamis (2021/10/28).Dok Humas Polda Jati. Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Gatot Repli Handoko dan Ditreskrimum Polda Jatim Kombes Pol Totok Suharyanto saat Melakukan Rilis Ungkap Kasus Kekerasan dan Pengrusakan di 8 Daerah di Jatim, Kamis (2021/10/28).

Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono menjelaskan, munculnya aksi main hakim sendiri basisnya adalah ketidakpercayaan warga pada institusi penegak hukum dan lembaga-lembaga pemasyarakatan.

Menurutnya, anggapan warga ketika menyerahkan pelaku kejahatan ke polisi adalah terjadi ketidakadilan terhadap mereka.

"Ketidakadilannya apa? Kalau nanti dia ditangkap, nanti keluar lagi, merampok lagi, masyarakat tidak percaya dengan institusi penegak hukum dan lembaga pemasyaratan betul-betul bisa membuat jera orang," kata Drajat kepada Kompas.com, Jumat (29/10/2021).

Baca juga: Soal Kawin Tangkap di Sumba dan Budaya Kekerasan terhadap Perempuan...

Lebih lanjut, Drajat menyebut warga yang main hakim sendiri ini sebagai perilaku kekerasan kolektif. Ia menyebut ada tiga jenis kekerasan kolektif.

Pertama, kekerasan kolektif instrumental yang dilakukan secara bersamaan sebagai bentuk pembelaan, seperti menghakimi pelaku kejahatan.

Kedua, kekerasan kolektif yang terjadi karena demonstration effect atau ikut-ikutan.

Baca juga: Mengapa Kasus Kekerasan di Sekolah Taruna Masih Terjadi?

Pembenaran aksi main hakim sendiri

IlustrasiSHUTTERSTOCK Ilustrasi

Ketiga, kekerasan kolektif yang dilakukan karena heroisme atau merasa menjadi pahlawan dan harus membela komunitasnya.

"Tapi kekerasan kolektif apa pun itu, orang tidak segera merasa bersalah karena dilakukan bersama-sama," jelas dia.

"Sehingga kalau mereka menemui pencuri, mereka sudah langsung bergerak secara instrumental dengan maksud pencurian tidak lagi terjadi di daerah mereka," tambahnya.

Drajat menilai, hal inilah yang menjadi pembenaran aksi main hakim sendiri.

Jadi, kekerasan kolektif akan berulang karena ada dorongan untuk heroisme, bertindak bersama-sama, dan seringkali mengabaikan kemanusiaan.

Baca juga: Menelaah Joker dan Kontroversi Kekerasan di Baliknya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com