Transformasi yang mereka lakukan memiliki dampak yang baik. Mereka telah meraih beberapa penghargaan atas kinerja pelayanan publiknya.
Semua transformasi digital ini tidak bisa dilakukan jika tidak ada sinergi antara perangkat desa dan pemimpinnya. Pada awal pelaksanaan transformasi digital, menurut riset Yuwono, Alfirdaus dan Manar (2020), Bupati Abdullah Azwar Anas meminta 20 sarjana akuntansi dengan IPK 3,5 dan 10 lulusan TI dengan IPK yang sama.
Ini memang standar yang tinggi bagi desa, tetapi hal itu berbuah baik ke depannya. Pada 2019, tercatat bahwa kabupaten Banyuwangi memiliki 13 orang teknisi aplikasi, 12 tenaga infrastruktur jaringan, dan 2 orang desain grafis.
Selain itu, pemerintah kabupaten Banyuwangi juga didukung oleh tenaga non-ASN dan juga 1.000 relawan pasukan media sosial yang bertujuan memberikan input tentang pesan berantai yang baik yang bisa disampaikan di media sosial.
Dari sini, sekilas kita melihat bagaimana peran pemimpin dalam menavigasi perubahan.
Tetapi, jika ditelisik lebih dalam, perangkat desa penting untuk mengeksekusi visi dari pemimpin.
Posisi yang diisi oleh SDM yang ahli dan memiliki kemampuan yang relevan, membuat Banyuwangi mampu melakukan transformasi digital dengan baik. Dengan soft skills dan hard skills yang mumpuni, perangkat desa dapat mempercepat kemajuan sebuah desa.
Jika bicara tentang transformasi, tidak akan bisa dilepaskan dari peran kepemimpinan. Kepemimpinan menjadi suatu syarat absolut bagi entitas, organisasi, perusahaan, dan lembaga pemerintah untuk melakukan perubahan.
Suatu transformasi selalu diawali dari proses kepemimpinan yang baik. Kepemimpinan yang baik selalu menunjukkan keteladanan yang baik pula.
Bicara bagaimana seorang pemimpin menggerakkan potensi daerah, sosok Azwar Anas memang tidak bisa dilepaskan dari diskusi pemimpin yang sukses mentransformasi daerahnya menjadi daerah digital.
Sempat disinggung di paragraf sebelumnya bahwa kepemimpinan Azwar berkontribusi terhadap perubahan wajah daerah Banyuwangi yang menjadi daerah maju, yang mampu memaksimalkan potensi daerahnya untuk kemajuan ekonomi.
Namun, selain Azwar Anas, ada sosok muda yang telah memimpin suatu desa di daerah Indonesia. Dia adalah Wahyudi Anggoro Hadi, seorang lurah dari desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta pada periode 2012-2018.
Ia memberikan keteladanan yang bisa dikatakan luar biasa. Wahyudi mencoba mengubah cara kerja perangkat desa yang lambat menjadi lebih disiplin dan cepat. Dia menerapkan itu pada dirinya sendiri. Dia berangkat lebih pagi dan pulang lebih sore. Selain itu, dia juga tidak segan-segan turun tangan membersihkan WC.
Wahyudi menjalankan prinsip bahwa air, pangan dan udara adalah tiga komoditas utama dalam pembangunan desa sebagai masa depan dunia.
Desa yang ideal adalah desa dengan air yang bersih, kualitas udara yang bersih dan pangan sehat. Menurutnya, tiga hal ini yang akan menentukan perkembangan masa depan desa-desa di Indonesia
Melalui Covid 19, Wahyudi berpendapat bahwa masyarakat harus reconnected with nature, kembali membangun relasi dengan Tuhan, sesama manusia dan juga alam.
Pandemi mengubah Kembali struktur tatanan sosial saat ini. Oleh karenanya perlahan Indonesia akan pulih. Ketika semua perangkat desa bahu membahu merangkai dan mengeksekusi gagasan, semua itu berangkat dari desa.
Kita memaknai kembali gotong royong sebagai pemantik hadirnya kerjasama, kekeluargaan, dan musyarawarah antara elemen desa.
Hal yang dilakukannya ini perlahan-lahan mengubah wajah perangkat desa yang awalnya bekerja santai menjadi lebih disiplin.
Dia juga melakukan perubahan lainnya yang membuat pelayanan di desa Panggungharjo menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Selain itu, anak muda juga turut berkecimpung melakukan perubahan di daerah. Riset saya tentang kepemimpinan menemukan banyak pemuda yang melakukan sesuatu untuk daerahnya.
Misalnya, Panji Azis Pratama mendirikan Isbanban Foundation di Banten, Reza Zaki yang mendirikan Rumah Imperium dengan tujuan meningkatkan kapasitas pemuda di daerahnya, Sumedang. Selain itu, juga,ada Goris Mustaqim yang turut mengembangkan kampung halamannya, Garut.
Ketiga sosok ini telah menunjukkan determinasi tinggi dan keinginan untuk membangun daerahnya sendiri. Mereka memegang teguh filosofi teori bubur panas, membangun negeri dari pinggir.
Bahkan, telah ada sosok pemuda yang telah menjadi kepala desa, seperti Adidaya Perdana yang adalah seorang milenial. Adidaya terpilih menjadi Kepala Desa Margoyoso, Kecamatan Salaman, Magelang.
Terpilihnya milenial seperti Adidaya membangkitkan optimisme bahwa kelak semakin banyak anak muda yang peduli membangun desa mereka. Modal ini dapat membuat Indonesia bisa menjadi negara besar.