Obat, yang berumur sekitar 60 tahun ini, diberikan dengan dosis rendah. Penggunaannya diperkirakan telah menyelamatkan sekitar satu juta nyawa di seluruh dunia.
Pengobatan standar menggunakan Deksametason untuk pasien yang paling sakit. Ini adalah obat anti-inflamasi, yang dapat meredam reaksi berlebihan sistem kekebalan dalam kasus yang parah sebagai respons terhadap virus corona.
Baca juga: Mengenal Deksametason yang Diklaim Ampuh Kurangi Angka Kematian Covid-19
Seperti Deksametason, Tocilizumab adalah anti-inflamasi. Antibodi yang biasanya digunakan untuk mengobati rheumatoid arthritis diberikan melalui suntikan untuk memblokir protein inflamasi IL-6.
Dari hasil uji coba menunjukkan, obat tersebut mengurangi risiko kematian pada pasien Covid-19 di rumah sakit.
Tocilizumab juga memperpendek lama rawat inap di rumah sakit dan mereka yang diberikan obat ini lebih kecil kemungkinannya untuk menggunakan ventilator.
Meskipun demikian, penggunaan Tocilizumab belum diujicobakan pada pasien tahap awal.
Baca juga: Studi Terbaru Mengonfirmasi Efektivitas Remdesivir sebagai Obat Corona
Budesonide adalah obat asma. Caranya dengan dihirup dua kali sehari, dan disebut-sebut membuahkan hasil yang baik pada orang lanjut usia dengan Covid-19.
Uji coba Principle Universitas Oxford, menemukan bahwa obat ini memperpendek lamanya penyakit orang-orang yang berusia di atas 65 atau di atas 50 dengan kondisi kesehatan yang mendasari dengan rata-rata tiga hari.
Lebih sedikit orang yang memakai budesonide dirawat di rumah sakit dibandingkan mereka yang diberi terapi lain, tetapi jumlahnya tidak signifikan.
Favipiravir adalah obat antivirus, bukan anti-inflamasi, yang berarti obat ini dirancang untuk melawan virus pada tahap awal, sebelum memicu peradangan.
Ini obat antivirus pertama yang dimasukkan dalam uji coba Principle untuk perawatan di rumah.
Obat ini telah dilisensikan di Jepang sejak 2014 untuk mengobati influenza. Penelitian laboratorium dan hewan menunjukkan itu bisa bekerja pada manusia melawan virus corona.
Baca juga: Avigan Favipiravir, Obat Flu Jepang yang Disebut Efektif Hadapi Corona
Obat antiviral ini telah diizinkan untuk penggunaan darurat di AS, India, dan Singapura dan disetujui di Uni Eropa, Jepang, dan Australia untuk digunakan pada orang dengan gejala parah.
Akan tetapi, obat yang dibuat oleh perusahaan AS Gilead Sciences ini sangat mahal.
Awalnya remdesivir digunakan untuk hepatitis C. Kemudian digunakan kembali untuk Ebola. Penggunaan remdesivir sempat kontroversial selama pandemi.
Dari uji coba solidaritas independen dijalankan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di beberapa negara, menemukan bahwa obat ini memiliki efek yang sangat kecil pada kematian dan merekomendasikan negara-negara untuk tidak menggunakannya.
Baca juga: WHO Sarankan Dokter Tak Gunakan Remdesivir untuk Pasien Covid-19, Kenapa?
Terakhir, pengobatan dari plasma yang mengandung antibodi terhadap virus yang dikumpulkan dari orang yang telah pulih dari Covid-19.
Meskipun plasma penyembuhan telah berhasil digunakan untuk mengobati penyakit lain, sebagian besar ahli masih mengatakan tidak ada cukup bukti percobaan mengenai seberapa baik kerjanya dan pada pasien yang mana.
Percobaan di Inggris tidak menunjukkan manfaat keseluruhan bagi orang-orang di rumah sakit, tetapi mereka melakukannya untuk mengetahui apakah plasma darah membantu kelompok tertentu, seperti mereka yang sistem kekebalannya lemah.
Baca juga: 5 Hal soal Donor Plasma Konvalesen Covid-19, dari Syarat hingga Cara Kerjanya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.