"Saya bisa sekolah di Master dengan gratis sehingga orangtua tidak perlu bingung memikirkan bayaran sekolah seperti di sekolah formal," ujar Dika.
Selain karena sekolahnya yang gratis, orangtua Dika juga memiliki harapan anaknya kelak bisa sukses dan berhasil.
Menurut Dika, Sekolah Master banyak mengubah karakter dan mindset-nya dalam melihat dunia.
"Saya diajarkan tentang keikhlasan, perjuangan, dan kerja keras," terang Dika.
Semasa mengenyam pendidikan di Sekolah Master, Dika mengaku setiap pagi menjadi tukang plastik di Pasar Kemiri, Kota Depok.
Pada siang harinya, dia juga berjualan roti serta kue-kue basah di sekolah, serta tak melupakan belajar dan berorganisasi.
"Pencapaian terbaik saat SMA adalah ketika saya terpilih menjadi Ketua OSIS pertama di Sekolah Master dan ketika saya berhasil masuk ke kampus negeri pada tahun 2012 di Universitas Negeri Jakarta," kata Dika.
Pada 2012, kata Dika, dia diterima di kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Akan tetapi, pada saat yang sama, dia hampir saja gagal lolos di tahap pendaftaran karena tidak memiliki uang untuk membayar biaya masuk sebesar Rp 4 juta.
"Waktu itu saya benar-benar hidup di jalanan dan orangtua saya pun tidak memiliki kemampuan untuk membayarnya. Jadi uang Rp 4 juta itu jelas sangat besar sekali dan saya tidak tahu dari mana saya harus mendapatkannya," ujar Dika.
Pada saat itu, Dika sempat diwawancarai oleh jurnalis Kompas.com, Indra Akuntono, untuk memberitakan persoalannya itu.
Tak disangka, berita tersebut, kata Dika, menuai respons positif dari masyarakat.
"Dan setelah berita saya sempat viral karena berita Kompas.com, banyak donatur yang akhirnya menawarkan untuk memberikan saya bantuan biaya sampai akhirnya saya bisa melakukan pendaftaran ulang di UNJ dan menjadi mahasiswa di kampus tersebut," kata Dika.
Permasalahan tak selesai begitu saja. Dika mengaku bahwa finansialnya masih belum membaik untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan berbagai tugas kampus.
Dia pun berjuang dengan berjualan roti, risol, dan menjadi guru les.