Kebanyakan petani sawit saat ini memperoleh kebun sangat kecil antara 0,5 hektare sampai kurang dari 2 hektare akibat penyerahan lahan di bawah kuota yang ditentukan perusahaan.
Petani sawit terpaksa melakukan barter lahan itu karena himpitan ekonomi dan untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok.
Aturan semestinya melindungi dan memberdayakan petani. Namun perusahaan betul-betul dijaga oleh pemerintah untuk menjamin usahanya sementara masyarakat tetap miskin.
Pada 2013, melalui Permentan Nomor 98 Tahun 2013 tentang Perizinan Usaha Perkebunan mengatur agar pabrik pengolahan mendapatkan 80 persen bahan baku dari petani sawit.
Namun peraturan ini tidak berlangsung lama. Belum lagi, aturan kepemilikan saham koperasi pada perusahaan hingga 30 persen dihilangkan. Perubahan aturan ini kental dengan kepentingan para cukong.
Perusahaan harus membangun kebun plasma tiga tahun setelah memperoleh HGU. Dari sisi produksi, sawit baru akan berbuah setelah empat tahun ditanam.
Artinya, setelah perusahaan membangun kemitraan dengan masyarakat, petani akan memperoleh hasil tujuh tahun kemudian. Belum lagi kalau perusahaan membangun kebun milik mereka lebih dulu, petani akan menunggu hasil lebih lama lagi.
Meskipun pemerintah mewajibkan perusahaan membangun kebun masyarakat, realisasinya tetap saja minim.
Data Direktorat Jendral Perkebunan tahun 2018 menyebutkan, luas perkebunan plasma baru sejak 2007 melalui program revitalisasi perkebunan sebesar 623.114 ribu hektare.
Jika ditotal dengan plasma sebelumnya maka berjumlah 1.294.241 hektare. Apabila, luas perkebunan perusahaan saat ini sebesar 9,66 juta hektare maka idealnya porsi 20 persen lahan milik petani seharusnya menjadi 1.932.000 hektare. Kekurangan luasan plasma ini mengindikasikan perusahaan tak konsisten membangun plasma.
Petani plasma di era 80-an melalui program PIR sedikit beruntung dibandingkan sekarang. Kala itu petani sudah dipastikan memperoleh lahan 2 hektare dan pemerintah pernah mengalokasikan 80 persen untuk petani dan 20 persen perusahaan.
Sejak 2007 pola-pola kemitraan sawit tidak lagi menguntungkan petani. Banyak konflik yang kemudian memenjarakan petani.
Ini akibat dari kebun masyarakat tidak kunjung dibangun, timbulnya tumpang tindih izin, dan pola kemitraan satu atap yang membuat petani menjadi subordinat perusahaan.
Pola ini sama dengan contract farming, di mana kebun plasma dikelola perusahaan secara penuh dan menempatkan petani seperti buruh di atas tanahnya.
Negara masih meletakkan sawit di tangan korporasi. Sampai sekarang, IUP sudah diberikan ke 2.494 perusahaan dengan total luas lahan sebanyak 20.004.299 hektare di 23 provinsi (Kementan 2019).