Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terkait Dugaan Hoaks atas UU Cipta Kerja...

Kompas.com - 12/10/2020, 17:35 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Jihad Akbar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kabar persebaran hoaks usai pengesahan omnibus law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja menjadi perhatian pemerintah.

Bahkan, diberitakan Kompas.com pada Jumat (9/10/2020), Presiden Joko Widodo menilai aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja dilatarbelakangi oleh disinformasi dan hoaks.

"Saya melihat adanya unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi dari UU ini dan hoaks di media sosial," kata Jokowi dalam konferensi pers virtual dari Istana Kepresidenan, Bogor.

Terkait dugaan persebaran hoaks atas UU Cipta Kerja, polisi pun turut menindaklanjutinya.

Dilansir Kompas.com, Jumat (9/10/2020), Polri menyatakan telah menangkap seseorang yang diduga sebagai pelaku penyebar hoaks di media sosial Twitter.

VE (36) diduga menyebarkan hoaks terkait UU Cipta Kerja melalui akun Twitter @videlyaeyang. Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yowono mengatakan, VE ditangkap di Makassar, Sulawesi Selatan.

"Contohnya uang pesangon dihilangkan, kemudian UMP/UMK dihapus, kemudian semua hak cuti, tidak ada kompensasi, dan lain-lain, ada 12 gitu ya," kata Argo.

Menurut kepolisian, yang disampaikan VE tersebut tidak sesuai dengan isi UU Cipta Kerja yang disahkan DPR.

Baca juga: Diduga Sebar Hoaks soal UU Cipta Kerja, Pemilik Akun @videlyaeyang Ditangkap Polisi

Draf UU Cipta Kerja belum final

Sementara itu, meski sudah disahkan DPR RI saat rapat paripurna pada 5 Oktober 2020, draf UU Cipta Kerja ini ternyata belum rampung 100 persen.

Hal ini sebagaimana disampaikan anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo yang diberitakan Kompas.com pada Jumat (9/10/2020).

"Memang draf ini dibahas tidak sekaligus final, itu masih ada proses-proses yang memang secara tahap bertahap ada penyempurnaan," kata Firman, Kamis (8/10/2020).

Hal serupa juga disampaikan Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi. Pihaknya mengaku masih akan melakukan sejumlah koreksi, tetapi sebatas koreksi redaksional, bukan substansional.

"Kami sudah sampaikan, kami minta waktu bahwa Baleg dikasih kesempatan untuk me-review lagi. Takut-takut ada yang salah titik, salah huruf, salah kata, atau salah koma. Kalau substansi tidak bisa kami ubah, karena sudah keputusan," jelas dia.

Baca juga: Draf UU Cipta Kerja yang Rupanya Belum Final...

Diberitakan Kompas.com, Senin (12/10/2020), saat ini beredar tiga draf RUU Cipta Kerja

Pertama, draf berjudul "5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja-Paripurna" yang diberikan seorang pimpinan Badan Legislatif DPR kepada wartawan sebelum rapat paripurna. Dokumen ini berjumlah 905 halaman.

Kedua, draf RUU Cipta Kerja yang berada di situs dpr.go.id. Dokumen ini berjumlah 1.028 halaman, tetapi tidak memiliki tanggal yang jelas.

Ketiga, draf beredar di kalangan akademisi dan wartawan dengan nama penyimpanan "RUU CIPTA KERJA - KIRIM KE PRESIDEN.pdf". Belum diketahui secara pasti mengenai sumber awal draf RUU Cipta Kerja versi 1.035 halaman ini. Pihak DPR pun belum memberikan konfirmasi.

Baca juga: Beredar Lagi Versi Baru RUU Cipta Kerja, yang Mana Draf Finalnya?

Penetapan hoaks

Belum jelasnya draf final UU Cipta Kerja itu pun memunculkan pertanyaan terkait penetapan suatu informasi menjadi hoaks.

Kompas.com pun mencoba menghubungi pihak kepolisian untuk mendapatkan penjelasan.

Namun, Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono hanya memberikan jawaban singkat.

"Nanti sama-sama kita ikuti di sidang pengadilan ya," kata Argo, Senin (12/10/2020).

Ia mengajak agar mengikuti proses penyidikan yang dilakukan kepolisian.

"Ikuti saja proses sidiknya," jawab dia.

Baca juga: Draf Final RUU Cipta Kerja Belum Ada, Presiden dan DPR Dinilai Lakukan Disinformasi

Kata pakar hukum

Terkait penangkapan dengan tudingan dugaan hoaks UU Cipta Kerja, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai sebagai tindakan yang prematur.

"Karena berita aslinya belum jelas, maka tidak ada yang disebut berita bohong, tidak ada sifat melawan hukumnya," kata Fickar seperti diberitakan Kompas.com pada Senin (12/10/2020).

Menurut pandangannya, polisi di sini telah melakukan pelanggaran asas legalitas seperti tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

"Apa yang dibilang bohong, yang resmi dan asli saja tidak atau belum ada. Dan kalau kemudian ada, maka tindak pidananya tidak bisa retroaktif, sangkaannya gugur karena melanggar asas legalitas," jelas dia.

Lebih jauh, Fickar menyebut polisi bisa terjebak menjadi alat politik apabila hal serupa kembali terulang pada waktu yang akan datang.

Baca juga: Draf UU Cipta Kerja Belum Final, Polisi Dinilai Tak Bisa Tetapkan Tersangka Hoaks

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

5 Penyebab Anjing Peliharaan Mengabaikan Panggilan Pemiliknya

5 Penyebab Anjing Peliharaan Mengabaikan Panggilan Pemiliknya

Tren
8 Fakta Penggerebekan Laboratorium Narkoba di Bali, Kantongi Rp 4 Miliar

8 Fakta Penggerebekan Laboratorium Narkoba di Bali, Kantongi Rp 4 Miliar

Tren
UPDATE Banjir Sumbar: 50 Orang Meninggal, 27 Warga Dilaporkan Hilang

UPDATE Banjir Sumbar: 50 Orang Meninggal, 27 Warga Dilaporkan Hilang

Tren
Rusia Temukan Cadangan Minyak 511 Miliar Barel di Antarktika, Ancam Masa Depan Benua Beku?

Rusia Temukan Cadangan Minyak 511 Miliar Barel di Antarktika, Ancam Masa Depan Benua Beku?

Tren
Duduk Perkara Kepala Bea Cukai Purwakarta Dibebastugaskan, Buntut Harta Kekayaan Tak Wajar

Duduk Perkara Kepala Bea Cukai Purwakarta Dibebastugaskan, Buntut Harta Kekayaan Tak Wajar

Tren
Ini yang Terjadi pada Tubuh Ketika Anda Latihan Beban Setiap Hari

Ini yang Terjadi pada Tubuh Ketika Anda Latihan Beban Setiap Hari

Tren
Pendaftaran Sekolah Kedinasan Dibuka Besok, Berikut Link, Jadwal, Formasi, dan Cara Daftar

Pendaftaran Sekolah Kedinasan Dibuka Besok, Berikut Link, Jadwal, Formasi, dan Cara Daftar

Tren
Ramai soal Ribuan Pendaki Gagal 'Muncak' di Gunung Slamet, PVMBG: Ada Peningkatan Gempa Embusan

Ramai soal Ribuan Pendaki Gagal "Muncak" di Gunung Slamet, PVMBG: Ada Peningkatan Gempa Embusan

Tren
Apa yang Terjadi pada Tubuh Saat Berhenti Minum Teh Selama Sebulan?

Apa yang Terjadi pada Tubuh Saat Berhenti Minum Teh Selama Sebulan?

Tren
Bisakah Hapus Data Pribadi di Google agar Jejak Digital Tak Diketahui?

Bisakah Hapus Data Pribadi di Google agar Jejak Digital Tak Diketahui?

Tren
Berapa Lama Jalan Kaki untuk Ampuh Menurunkan Kolesterol?

Berapa Lama Jalan Kaki untuk Ampuh Menurunkan Kolesterol?

Tren
Tragedi Biaya Pendidikan di Indonesia

Tragedi Biaya Pendidikan di Indonesia

Tren
Meski Tinggi Kolesterol, Ini Manfaat Telur Ikan yang Jarang Diketahui

Meski Tinggi Kolesterol, Ini Manfaat Telur Ikan yang Jarang Diketahui

Tren
Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 14-15 Mei 2024

Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 14-15 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] UKT dan Uang Pangkal yang Semakin Beratkan Mahasiswa | Kronologi Kecelakaan Bus Subang

[POPULER TREN] UKT dan Uang Pangkal yang Semakin Beratkan Mahasiswa | Kronologi Kecelakaan Bus Subang

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com