Persentase ini setara dengan peningkatan jumlah pengurangan penyerapan tenaga kerja yang mencapai sekitar 1,6 juta hingga 2,3 juta orang.
Dilihat dari sebaran sektornya, perdagangan adalah sektor yang paling banyak mengalami pengurangan penyerapan tenaga kerja.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor ini berkurang sekitar 677.100–953.200 orang.
Namun, jika dilihat dari proporsinya, konstruksi adalah sektor yang paling banyak mengurangi penyerapan tenaga kerja dengan proporsi sebesar 3,2 persen–4,5 persen dari jumlah pekerja di sektor tersebut pada Februari 2020.
Meski demikian, ada sektor-sektor yang diperkirakan masih menyerap tenaga kerja, seperti jasa pendidikan, informasi dan komunikasi, jasa kesehatan dan kegiatan sosial, serta jasa keuangan dan asuransi.
Hal ini kemungkinan terjadi karena pada kuartal I 2020, produk domestik bruto (PDB) sektor ini mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019.
Baca juga: Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia
Tim riset SMERU menyebutkan, setidaknya ada empat poin utama yang akan mendorong terjadinya perubahan lanskap pasar tenaga kerja pasca krisis ekonomi dan pandemi Covid-19.
Pertama, tingkat penyerapan tenaga kerja tidak akan sebesar jumlah tenaga kerja yang terkena PHK.
Selisih tenaga kerja yang tidak terserap ini, kemudian akan masuk ke dalam kelompok pengangguran.
Apa efeknya dalam hal pemulihan ekonomi pasca krisis?
Muhammad Adi Rahman, peneliti SMERU sekaligus ketua tim riset yang menyusun catatan kebijakan ini, mengatakan, kemungkinan besar pengangguran, baik angkatan kerja baru dan mereka yang ter-PHK karena krisis, akan bekerja pada sektor-sektor informal.
"Oleh sebab itu, yang perlu diantisipasi dalam menyusun program pemulihan ekonomi pasca krisis diharapkan juga mengarah pada sektor-sektor informal agar produktivitas mereka dapat ditingkatkan," kata Adi dalam wawancara tertulis dengan Kompas.com, Senin (10/8/2020).
Dia mengatakan, hal tersebut diperlukan karena jika produktivitas pekerja dapat ditingkatkan, maka diharapkan tingkat upah mereka juga akan lebih baik.
"Bahkan jika usaha ini dapat berkembang, diharapkan dapat juga membuka lapangan pekerjaan sehingga mampu menyerap tenga kerja," ujar dia.
Baca juga: Jokowi Hanya Tunda Klaster Ketenagakerjaan, KPA: Sangat Mengecewakan
Kedua, perusahaan hanya akan merekrut tenaga kerja yang memiliki produktivitas tinggi dan mampu mengerjakan beberapa tugas sekaligus (multitasking).
Sebagai contoh, usaha perhotelan hanya akan merekrut tenaga kerja yang memiliki kemampuan manajerial dan juga bisa melayani tamu di bagian restoran.
Hal ini cukup lumrah sebenarnya, bahkan sejak sebelum pandemi menerpa. Namun, prasyarat ini akan semakin dibutuhkan oleh perusahaan dalam proses rekrutmen pekerja pasca krisis.
Adi mengatakan pandemi yang terjadi saat ini menjadi semacam peluang bagi sebagian pelaku usaha untuk berpindah dari yang sebelumnya padat karya ke padat modal.
"Situasi krisis ini seakan menjadi pembelajaran bagi pelaku usaha untuk melakukan efisiensi. Hal ini dikarenakan pada situasi krisis ini, mereka tetap harus menanggung beban biaya upah walaupun kegiatan produksi terganggu atau terhenti sementara," kata Adi.