KOMPAS.com - Sebuah unggahan mengenai prediksi puncak pandemi Covid-19 beredar di Twitter pada Kamis (9/7/2020).
Ditulis akun @KawalCOVID19, menurut mereka saat ini Indonesia justru baru mulai pandemi dan masih jauh dari puncaknya.
Update kabar buruk:
Prediksi kami salah. Dua bulan terakhir rupanya belum masa paling berbahaya. Justru, pandemi ini baru mulai dan kita masih JAUH dari puncaknya.
Maka tingkatkan kewaspadaan, karena bulan-bulan ke depan keadaan justru akan lebih berbahaya.
Baca juga: 2.657 Kasus Baru Covid-19 di Indonesia, Apa Penyebab Utamanya?
Update kabar buruk:
Prediksi kami salah. Dua bulan terakhir rupanya belum masa paling berbahaya. Justru, pandemi ini baru mulai dan kita masih JAUH dari puncaknya.
Maka tingkatkan kewaspadaan, karena bulan-bulan ke depan keadaan justru akan lebih berbahaya.#ThrowbackThursday https://t.co/0tydyNE1OI
— KawalCOVID19 (@KawalCOVID19) July 9, 2020
Baca juga: Ramai soal Penolakan Jenazah Covid-19, Dokter: Pasien Meninggal, Virus Pun Mati
Sebelumnya, pada 18 Mei mereka membuat twit bahwa dalam 2 bulan setelahnya Indonesia akan mengalami masa paling berbahaya.
Hingga kini, unggahan tersebut telah di-retweet sebanyak 4.200 kali dan telah disukai sebanyak lebih dari 4.700 kali oleh pengguna Twitter lainnya.
Lalu bagaimana penjelasannya dari KawalCovid19?
Koordinator KawalCovid19 Miki Salman menjelaskan Indonesia dikatakan akan memasuki fase berbahaya pada bulan-bulan mendatang karena beberapa hal.
Hal itu di antaranya adalah karena pelacakan kontak di Indonesia masih minim, tes tidak menyeluruh, isolasi tidak meningkat signifikan, dan kondisi masa transisi new normal.
"Trajectory saat ini kan naik terus. Di isi lain, tidak ada perubahan berarti dalam cara penanganan pemerintah, tidak ada kenaikan kapasitas tes atau tidak signifikan kenaikannya," kata Miki pada Kompas.com, Kamis (9/7/2020).
Lanjutnya, akibatnya kasus yang sekarang "tertangkap" atau terlacak baru sebagian kecil.
Baca juga: 2.657 Kasus Baru Covid-19 di Indonesia, Apa Penyebab Utamanya?
Miki mengatakan, Persentase Fatalitas Infeksi atau Infection Fatality Rate (IFR) saat ini antara 0.1-0.5 persen dan angka kematian 13,000 (berdasarkan data RS Online)
Dengan demikian, maka jumlah kasus terinfeksi setidaknya di atas 500,000, bisa mencapai beberapa juta. Sementara angka resmi saat ini 70.000 kasus.
"Maka tadi kami berani mengatakan, kalau setiap hari pemerintah mengumumkan ada 10,000 kasus baru, kami tidak akan heran atau kaget," ujar Miki.
Baca juga: Pembukaan PSBB, Ancaman Klaster Baru Covid-19 hingga Perlunya Pelacakan Kontak
Dihubungi terpisah, Co-founder KawalCovid19 Elina Ciptadi menambahkan jumlah kasus positif tiap harinya masih dibatasi kapasitas testing yang terbatas.
Elina juga menyinggung mengenai jumlah Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Per data kemarin (8/7/2020), ada 13.000an PDP.
Tingginya jumlah PDP menandakan bahwa banyak orang yang kemungkinan terinfeksi masih "menunggu dites".
Elina berharap kapasitas contact tracing atau pelacakan kontak ditambah.
"Kalau kita tidak melakukan contact tracing dengan agresif, kemungkinan adanya kasus-kasus yang tidak terdeteksi dan tidak terisolasi, yang kemudian menular ke lingkungan masing-masing, besar," katanya pada Kompas.com, Kamis (9/7/2020).
Baca juga: Hampir 80 Persen Kasus Covid-19 Tak Bergejala, Ini Fakta soal OTG
Tiap kasus positif, imbuhnya pasti mempunyai kontak erat setidaknya dengan beberapa orang seperti keluarga di rumah.
Dengan menelusuri kontak-kontak itu, skala wabah bisa ditekan. Tapi jika tidak dilakukan, berpotensi menulari walaupun tanpa gejala.
Selain itu juga memperbanyak tes dan transparansi data. Elina melanjutkan, pemerintah perlu mengumumkan data apa adanya.
Dia mencontohkan seperti yang terjadi di Secapa Bandung, pemerintah di sana telah transparan mengumumkan hasil positifnya.
"Kami berprinsip lebih baik tahu skala wabah yang sebenarnya, daripada enggak tahu tapi masyarakat jadi enggak waspada," tuturnya.
Baca juga: Efektifkah Penggunaan Masker Scuba untuk Pencegahan Virus Corona?
Sementara itu dihubungi terpisah, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto hanya menanggapi singkat.
"Covid bahaya sejak awal," katanya pada Kompas.com, Kamis (9/7/2020).
Yuri, begitu dia akrab disapa mengatakan tidak menjaga jarak dan tidak memakai masker menyebabkan tingginya jumlah kasus baru Covid-19 di sejumlah daerah.
"Dari penyelidikan epidemiologi yang dilakukan terhadap beberapa provinsi sebagaian besar kontak erat masih dijalankan," ujarnya sebagaimana diberitakan Kompas.com (25/6/2020).
Baca juga: Mengintip Masker Pintar Buatan Jepang yang Mendukung Panggilan Telepon
"Artinya tanpa perlindungan masker dan tidak menjaga jarak, inilah fakta yang kemudian menyebabkan kasus positif masih tinggi di beberapa tempat," kata dia.
Yuri pun menyebutkan, kebiasaan masyarakat yang masih enggan memakai masker dan tidak disiplin menjaga jarak sebagai faktor utama masih adanya penularan Covid-19 di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, Yuri mengingatkan masyarakat untuk memakai masker dan menjaga jarak aman saat berada di luar rumah.
"Merujuk perkembangan data yang ada, kedua hal ini sangat penting kita lakukan secara disiplin bersama-sama," imbuh dia.
Baca juga: Mengenal UU Penanganan Covid-19 yang Digugat Amien Rais, Din Syamsudiin hingga Abdullah Hehamahua