Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kawal Covid-19: Pandemi Indonesia Baru Dimulai, Apa Kata Gugus Tugas?

Kompas.com - 10/07/2020, 08:31 WIB
Nur Fitriatus Shalihah,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sebuah unggahan mengenai prediksi puncak pandemi Covid-19 beredar di Twitter pada Kamis (9/7/2020).

Ditulis akun @KawalCOVID19, menurut mereka saat ini Indonesia justru baru mulai pandemi dan masih jauh dari puncaknya.

Update kabar buruk:

Prediksi kami salah. Dua bulan terakhir rupanya belum masa paling berbahaya. Justru, pandemi ini baru mulai dan kita masih JAUH dari puncaknya.

Maka tingkatkan kewaspadaan, karena bulan-bulan ke depan keadaan justru akan lebih berbahaya.

Baca juga: 2.657 Kasus Baru Covid-19 di Indonesia, Apa Penyebab Utamanya?

Baca juga: Ramai soal Penolakan Jenazah Covid-19, Dokter: Pasien Meninggal, Virus Pun Mati

Sebelumnya, pada 18 Mei mereka membuat twit bahwa dalam 2 bulan setelahnya Indonesia akan mengalami masa paling berbahaya.

Hingga kini, unggahan tersebut telah di-retweet sebanyak 4.200 kali dan telah disukai sebanyak lebih dari 4.700 kali oleh pengguna Twitter lainnya.

Lalu bagaimana penjelasannya dari KawalCovid19?

Koordinator KawalCovid19 Miki Salman menjelaskan Indonesia dikatakan akan memasuki fase berbahaya pada bulan-bulan mendatang karena beberapa hal.

Hal itu di antaranya adalah karena pelacakan kontak di Indonesia masih minim, tes tidak menyeluruh, isolasi tidak meningkat signifikan, dan kondisi masa transisi new normal.

"Trajectory saat ini kan naik terus. Di isi lain, tidak ada perubahan berarti dalam cara penanganan pemerintah, tidak ada kenaikan kapasitas tes atau tidak signifikan kenaikannya," kata Miki pada Kompas.com, Kamis (9/7/2020).

Lanjutnya, akibatnya kasus yang sekarang "tertangkap" atau terlacak baru sebagian kecil.

Baca juga: 2.657 Kasus Baru Covid-19 di Indonesia, Apa Penyebab Utamanya?

 

Angka kematian tinggi

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mendarat di Bandara Sekarno Hatta dan menjalani rapid test saat memimpin ekstradisi Maria Pauline Lumowa, buron kasus pembobolan BNI yang baru saja tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Kamis (9/7/2020). KOMPAS TV/ARSIP KEMENKUMHAM Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mendarat di Bandara Sekarno Hatta dan menjalani rapid test saat memimpin ekstradisi Maria Pauline Lumowa, buron kasus pembobolan BNI yang baru saja tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Kamis (9/7/2020).

Miki mengatakan, Persentase Fatalitas Infeksi atau Infection Fatality Rate (IFR) saat ini antara 0.1-0.5 persen dan angka kematian 13,000 (berdasarkan data RS Online)

Dengan demikian, maka jumlah kasus terinfeksi setidaknya di atas 500,000, bisa mencapai beberapa juta. Sementara angka resmi saat ini 70.000 kasus.

"Maka tadi kami berani mengatakan, kalau setiap hari pemerintah mengumumkan ada 10,000 kasus baru, kami tidak akan heran atau kaget," ujar Miki.

Baca juga: Pembukaan PSBB, Ancaman Klaster Baru Covid-19 hingga Perlunya Pelacakan Kontak

Dihubungi terpisah, Co-founder KawalCovid19 Elina Ciptadi menambahkan jumlah kasus positif tiap harinya masih dibatasi kapasitas testing yang terbatas.

Elina juga menyinggung mengenai jumlah Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Per data kemarin (8/7/2020), ada 13.000an PDP.

Tingginya jumlah PDP menandakan bahwa banyak orang yang kemungkinan terinfeksi masih "menunggu dites".

Elina berharap kapasitas contact tracing atau pelacakan kontak ditambah.

"Kalau kita tidak melakukan contact tracing dengan agresif, kemungkinan adanya kasus-kasus yang tidak terdeteksi dan tidak terisolasi, yang kemudian menular ke lingkungan masing-masing, besar," katanya pada Kompas.com, Kamis (9/7/2020).

Baca juga: Hampir 80 Persen Kasus Covid-19 Tak Bergejala, Ini Fakta soal OTG

Pasien orang tanpa gejala (OTG) dan pasien reaktif hasil rapid test Covid-19 melakukan senam pagi bersama relawan dan tenaga medis di Rumah Singgah Karantina Covid-19, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (27/5/2020). Rumah Singgah Karantina Covid-19 ini merawat 33 pasien OTG Covid-19  dan 12 orang reaktif hasil rapid test.KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO Pasien orang tanpa gejala (OTG) dan pasien reaktif hasil rapid test Covid-19 melakukan senam pagi bersama relawan dan tenaga medis di Rumah Singgah Karantina Covid-19, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (27/5/2020). Rumah Singgah Karantina Covid-19 ini merawat 33 pasien OTG Covid-19 dan 12 orang reaktif hasil rapid test.

Tiap kasus positif, imbuhnya pasti mempunyai kontak erat setidaknya dengan beberapa orang seperti keluarga di rumah.

Dengan menelusuri kontak-kontak itu, skala wabah bisa ditekan. Tapi jika tidak dilakukan, berpotensi menulari walaupun tanpa gejala.

Selain itu juga memperbanyak tes dan transparansi data. Elina melanjutkan, pemerintah perlu mengumumkan data apa adanya.

Dia mencontohkan seperti yang terjadi di Secapa Bandung, pemerintah di sana telah transparan mengumumkan hasil positifnya.

"Kami berprinsip lebih baik tahu skala wabah yang sebenarnya, daripada enggak tahu tapi masyarakat jadi enggak waspada," tuturnya.

Baca juga: Efektifkah Penggunaan Masker Scuba untuk Pencegahan Virus Corona?

Pentingnya jaga jarak dan memakai masker

Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 Achmad Yurianto memberikan keterangan pers, Sabtu (30/5/2020).Gugus Tugas Nasional Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 Achmad Yurianto memberikan keterangan pers, Sabtu (30/5/2020).

Sementara itu dihubungi terpisah, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto hanya menanggapi singkat.

"Covid bahaya sejak awal," katanya pada Kompas.com, Kamis (9/7/2020).

Yuri, begitu dia akrab disapa mengatakan tidak menjaga jarak dan tidak memakai masker menyebabkan tingginya jumlah kasus baru Covid-19 di sejumlah daerah.

"Dari penyelidikan epidemiologi yang dilakukan terhadap beberapa provinsi sebagaian besar kontak erat masih dijalankan," ujarnya sebagaimana diberitakan Kompas.com (25/6/2020).

Baca juga: Mengintip Masker Pintar Buatan Jepang yang Mendukung Panggilan Telepon

"Artinya tanpa perlindungan masker dan tidak menjaga jarak, inilah fakta yang kemudian menyebabkan kasus positif masih tinggi di beberapa tempat," kata dia.

Yuri pun menyebutkan, kebiasaan masyarakat yang masih enggan memakai masker dan tidak disiplin menjaga jarak sebagai faktor utama masih adanya penularan Covid-19 di tengah masyarakat.

Oleh karena itu, Yuri mengingatkan masyarakat untuk memakai masker dan menjaga jarak aman saat berada di luar rumah.

"Merujuk perkembangan data yang ada, kedua hal ini sangat penting kita lakukan secara disiplin bersama-sama," imbuh dia.

Baca juga: Mengenal UU Penanganan Covid-19 yang Digugat Amien Rais, Din Syamsudiin hingga Abdullah Hehamahua

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: 5 Mitos Seputar Masker

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Rusia Temukan Cadangan Minyak 511 Miliar Barel di Antarktika, Ancam Masa Depan Benua Beku?

Rusia Temukan Cadangan Minyak 511 Miliar Barel di Antarktika, Ancam Masa Depan Benua Beku?

Tren
Duduk Perkara Kepala Bea Cukai Purwakarta Dibebastugaskan, Buntut Harta Kekayaan Tak Wajar

Duduk Perkara Kepala Bea Cukai Purwakarta Dibebastugaskan, Buntut Harta Kekayaan Tak Wajar

Tren
Ini yang Terjadi pada Tubuh Ketika Anda Latihan Beban Setiap Hari

Ini yang Terjadi pada Tubuh Ketika Anda Latihan Beban Setiap Hari

Tren
Pendaftaran Sekolah Kedinasan Dibuka Besok, Berikut Link, Jadwal, Formasi, dan Cara Daftar

Pendaftaran Sekolah Kedinasan Dibuka Besok, Berikut Link, Jadwal, Formasi, dan Cara Daftar

Tren
Ramai soal Ribuan Pendaki Gagal 'Muncak' di Gunung Slamet, PVMBG: Ada Peningkatan Gempa Embusan

Ramai soal Ribuan Pendaki Gagal "Muncak" di Gunung Slamet, PVMBG: Ada Peningkatan Gempa Embusan

Tren
Apa yang Terjadi pada Tubuh Saat Berhenti Minum Teh Selama Sebulan?

Apa yang Terjadi pada Tubuh Saat Berhenti Minum Teh Selama Sebulan?

Tren
Bisakah Hapus Data Pribadi di Google agar Jejak Digital Tak Diketahui?

Bisakah Hapus Data Pribadi di Google agar Jejak Digital Tak Diketahui?

Tren
Berapa Lama Jalan Kaki untuk Ampuh Menurunkan Kolesterol?

Berapa Lama Jalan Kaki untuk Ampuh Menurunkan Kolesterol?

Tren
Tragedi Biaya Pendidikan di Indonesia

Tragedi Biaya Pendidikan di Indonesia

Tren
Meski Tinggi Kolesterol, Ini Manfaat Telur Ikan yang Jarang Diketahui

Meski Tinggi Kolesterol, Ini Manfaat Telur Ikan yang Jarang Diketahui

Tren
Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 14-15 Mei 2024

Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 14-15 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] UKT dan Uang Pangkal yang Semakin Beratkan Mahasiswa | Kronologi Kecelakaan Bus Subang

[POPULER TREN] UKT dan Uang Pangkal yang Semakin Beratkan Mahasiswa | Kronologi Kecelakaan Bus Subang

Tren
NASA Tunjukkan Rasanya Masuk ke Dalam Lubang Hitam

NASA Tunjukkan Rasanya Masuk ke Dalam Lubang Hitam

Tren
Usai Ditekuk Arsenal, Atap Stadion Manchester United Jebol dan Air Membanjiri Lapangan

Usai Ditekuk Arsenal, Atap Stadion Manchester United Jebol dan Air Membanjiri Lapangan

Tren
Venezuela Akan Jadi Negara Pertama yang Kehilangan Gletser, Berikutnya Indonesia

Venezuela Akan Jadi Negara Pertama yang Kehilangan Gletser, Berikutnya Indonesia

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com