Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Joseph Osdar
Kolumnis

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Tiga Presiden Indonesia di Bulan Juli

Kompas.com - 08/07/2020, 11:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Tentang Megawati sebelum pileg 7 Juni 1999, saya tertarik membaca buku yang dicetak 17 Agustus 1998, berjudul “Gerakan Pro-Mega: Menelusuri Jejak Pendukung Megawati”.

Prolog buku ini ditulis oleh Saifullah Yusuf, waktu itu sebagai Sekjen Angkatan Muda Nahdlatul Ulama. Editor buku saku ini adalah A. Helmy Faishal Zaini, waktu itu Wakil Sekjen Angkatan Muda Nahdlatul Ulama (sekarang Sekjen PBNU).

Di bawah sub-judul “Gus Dur : 30 juta Rakyat Dukung Mega” (halaman 7) antara lain dituliskan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendukung Megawati untuk mencalonkan diri sebagai presiden periode 1999 - 2003. Tapi, kata artikel itu, Gus Dur pesimis Megawati akan menjadi presiden mendatang.

Ramalan Gus Dur ada benarnya dan ada melesetnya. Tahun 1999, Mega tidak terpilih sebagai presiden, yang jadi Gus Dur. Mega jadi wakil presiden. Satu tahun lebih kemudian, 23 Juli 2001, Mega jadi presiden dan Gus Dur lengser.

Habibie, demokrat tulen

Fendry Ponomban, aktivis 98 dari Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM) dan Sekjen Komite Perjuangan untuk Perubahan (KPRP, Yogyakarrta 1998 -1999) punya pendapat menarik tentang sosok Habibie. Padahal di tahun 1998 dan 1999, Fendry sangat anti dengan Habibie dan lebih mendukung Gus Dur dan Megawati.

Fendry pada mulanya, seperti banyak aktivis 98 pada umumnya, mengatakan Habibie identik dengan Soeharto. Menurut Fendri, Habibie mampu keluar dari bayang-bayang Soeharto melalui serangkaian keputusan penting yang diambilnya, yakni kebebasan pers, pembebasan tahanan politik, dan berani membuka pintu penyelesaian damai Timor Timur lewat referendum.

“Dari Habibie kita belajar bagaimana seorang pemimpin bertindak di tengah badai politik dan berani memegang teguh nilai-nilai yang ia yakini kebenaranya. Saya mengenang Habibie seorang cendekiawan cemerlang, negarawan humanis dan demokrat tulen,” kata Fendri yang kini tinggal di Luwuk, Sulawesi Tengah.

Selama Gus Dur jadi presiden saya sering dipanggil di ruang kerjanya di Istana Merdeka. Pertemuan itu lebih banyak diiringi canda dan ketawa terbahak - bahak. Sampai suatu hari putri Gus Dur, Yenny Wahid menegur kami, “lho koq cuma ketawa-ketawa, tidak ada wawancara ya.”

Masa itu, bagi saya sebagai wartawan kepresidenan sangat menyenangkan. Selain punya kedekatan dengan Gus Dur saya juga kenal baik dengan Wakil Presiden (waktu itu) Megawati Soekarnoputri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com