Bagi saya yang bertahun tahun, tiap hari, berada di istana masa Soeharto, penampilan Habibie saat itu menjadi simbol kecil desakralisasi istana.
Pada 9 sampai 11 Juli 1998, setelah dua bulan Habibie jadi presiden, Golongan Karya mengadakan musyawarah nasional luarbiasa (Munaslub). Akbar Tanjung (waktu itu menjabat menteri sekretaris negara) terpilih sebagai ketua umum Partai Golkar mengalahkan mantan Menteri Pertahanan Jenderal TNI (purnawirawan) Edi Sudradjat.
Setelah kemenangannya itu, Akbar seusai acara puncak Hari Koperasi Nasional di halaman istana kepresidenan Jakarta, Minggu 12 Juli 1998, antara lain mengatakan kepada wartawan, Presiden Habibie melihat pemilihan ketua umum Golkar dari jauh dengan hati berdebar-debar.
Akbar saat itu mempersamakan dirinya dengan kesebelasan sepakbola Brasil yang didukung semua orang.
Dalam pertemuan dengan para tokoh pers di Wisma Negara bulan Agustus 1998, saya mengusulkan agar Presiden BJ Habibie punya panggilan akrab yang khas dekat dengan rakyat Indonesia, yakni “Bung Rudy”.
Menanggapi usulan saya, Habibie mengatakan, “boleh saja, mau panggil apa saja boleh.”
Tapi seorang pemimpin redaksi sebuah suratkabar di Surabaya dalam pertemuan itu menyatakan tidak setuju kalau seorang presiden dipanggil “bung”.
“Di Amerika Serikat pun seorang presiden dipanggil mister presiden,” kata pemimpin redaksi itu.
Setelah sebelas bulan Habibie memerintah, pada 7 Juni 1999, diselenggarakan pemilihan legislatif yang diikuti 48 partai.
PDI Perjuangan di bawah Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri memperoleh suara 33, 74 persen (35. 689.073 suara) dan Partai Golkar 22, 44 persen (23.741.749) dan PKB 12, 61 persen (13.336.982), PPP 10,71 persen (11.329.905) dan PAN 7,12 persen (7.528.956).
Pada 29 Juli 1999, Megawati di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, menyampaikan pidato politik yang disiarkan secara langsung oleh semua televisi di Indonesia. Hampir dua jam lebih pidato “Menyambut Kemenangan Rakyat pada Pemilu 1999” itu.
Sehari kemudian, ketika berada di istana, seusai bertemu dengan Presiden BJ Habibie, pejabat Ketua Umum ICMI Achmad Tirto Sudiro dengan sinis mengatakan, “seperti sudah jadi presiden saja”.
Sementara seorang menteri mengatakan, “Mega belum tentu jadi presiden”.
Di luar istana, mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) dan mantan Panglima Komando Wilayah Pertahanan (Pangkowilhan) Indonesia bagian timur, Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) Kemal Idris menyerukan dukungan Megawati pantas jadi presiden.