Bloomberg merilis, ekonomi Amerika Serikat masih tumbuh 3 persen pada kuartal pertama 2018. Tapi begitu diterpa pandemi, pendapatan domestik brutonya (PDB) tinggal 0,3 persenpada kuartal pertama 2020. Pada lima pekan terakhir, pengangguran di AS diklaim meningkat menjadi 26 juta orang.
Beberapa negara Eropa tak jauh beda. Pandemi membuat PDB mereka nyungsep di angka rata-rata minus 3,3 persen di kuartal pertama 2020. Perancis yang di awal kuartal 2018 tumbuh 2,4 persen, menjadi minus 5 persen kuartal pertama 2020.
Tiongkok sebagai negara kapitalisme baru mengalami nasib serupa. Kuartal pertama 2020 PDB negeri tirai bambu ini terjun bebas menjadi minus 6,8 persen. Singapura mengalami kisah yang sama. Pertumbuhan ekonominya minus 2,2 persen di kuartal pertama 2020.
Masih menurut versi Bloomberg, Korsel, Vietnam, dan Indonesia masih menunjukkan kinerja positif. Korsel yang tumbuh 2,8 persen di awal 2018, masih mencatatkan pertumbuhan 1,3 persen di kuartal awal 2020. Vietnam kinclong di 3,8 persen, sementara Indonesia 3 persen di kuartal yang sama setelah pandemi.
Namun, menurut versi BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot jadi 2,9 persen dan menurut BI tinggal 2,3 persen hingga akhir 2020.
Kinerja ekonomi domestik ini selayaknya tetap kita syukuri seraya tetap bekerja keras, menguatkan solidaritas dan gotong-royong dan menghindari perilaku atau sudut pandang negatif via medsos.
Sedikit menengok ke belakang, beberapa tahun sebelum pandemi, perekonomian di sebagian kawasan sebenarnya belum menggembirakan. Lihat saja kondisi perekonomian beberapa negara di benua Afrika yang seringkali identik dengan ketertinggalan.
Penilaian seperti ini jelas tidak adil. Karena, hampir dua dekade terakhir negara-negara di Afrika sudah mencoba menuju tata kelola baru masyarakat dunia (New Global Community).
Pemicu perubahan ekonomi di Afrika itu boleh jadi dimulai oleh organisasi Aliansi untuk Revolusi Hijau Afrika (Africa Green Revolution Alliance, AGRA).
Organisasi ini dibentuk pada 2006 sebagai tanggapan atas seruan mantan Sekretaris Jenderal PBB Almarhum Kofi Annan yang mengatakan sudah tiba saatnya bagi para petani Afrika untuk melancarkan "Revolusi Hijau Afrika yang unik."
Sejak awal, AGRA dibentuk untuk menjadi mitra utama bagi pemerintah yang ingin mendorong transformasi pertanian inklusif.
AGRA percaya perlu peran pemerintah untuk mentransformasikan pertanian Afrika. Semua intervensi harus dipandu dan diselaraskan dengan prioritas dan visi pemerintah di sektor pertanian.
AGRA mengadvokasi pendekatan pengiriman terintegrasi lintas rantai nilai melalui ekosistem kemitraan yang mengoordinasikan investasi termasuk sumber daya publik-swasta.
Organisasi ini bekerja sama dengan pemerintah dan mitra di 18 negara untuk membangun sistem dan alat yang diperlukan untuk memajukan transformasi pertanian inklusif.
Hasilnya, lebih dari 15 juta keluarga petani sekarang memiliki akses ke input, pelatihan, pembiayaan, dan pasar, yang memungkinkan mereka memanfaatkan pertanian untuk menghasilkan kehidupan yang lebih baik bagi keluarga mereka.