Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pandangan Para Ahli soal Social Distancing dan Physical Distancing

Kompas.com - 30/03/2020, 07:17 WIB
Nur Fitriatus Shalihah,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pada 20 Maret 2020, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengganti istilah social distancing dengan physical distancing.

Awalnya, social distancing dicetuskan sebagai sebuah cara menekan penyebaran virus corona.

Hal yang mencakup social distancing di antaranya adalah menjaga jarak 1-2 meter dengan orang lain dan menghindari kerumunan.

Alasan WHO mengganti frasa social distancing  menjadi physical distancing untuk mengklarifikasi bahwa tetap ada perintah tinggal di rumah untuk mencegah penyebaran virus corona.

Meski demikian, tidak berarti bahwa seseorang memutus kontak dengan orang lain secara sosial.

Baca juga: Cara Para Musisi Tetap Berkarya Saat Physical Distancing

Penggunaan frasa physical distancing diharapkan dapat memperjelas imbauan WHO, yaitu menjaga jarak fisik untuk memastikan penyakit tidak menyebar.

Seperti apa pandangan para ahli mengenai makna dari istilah social distancing dan physical distancing?

Social distancing bisa menjadi kontraproduktif

Dilansir dari The Washington Post, Kamis (26/3/2020), Profesor Ilmu Politik dan Kebijakan Publik di Northeastern University Daniel Aldrich menyoroti makna social distancing.

Ia sempat melontarkan kurang sepakat dengan istilah itu. Kemudian, Aldrich mengusulkan kepada WHO untuk mengubahnya menjadi physical distancing.

Social distancing mengacu pada penciptaan ruang fisik antara satu dengan yang lain dan menghindari pertemuan besar.

Menurut Aldrich, penjelasan itu menyesatkan dan penggunaannya yang luas dapat menjadi kontraproduktif.

Dengan makna seperti di atas, lebih tepat digunakan istilah physical distancing.

Aldrich mengatakan, upaya yang dilakukan untuk memperlambat penyebaran virus corona harus mendorong penguatan ikatan sosial dengan tetap menjaga jarak fisik.

Baca juga: Alasan dan Makna WHO Mengubah Social Distancing Jadi Physical Distancing

Dia mendengar orang-orang berhenti menghadiri acara yang dihadiri banyak orang, tetapi tidak menjaga koneksi sosial mereka dengan teknologi.

Aldrich juga prihatin terhadap para lansia yang tidak dapat menggunakan teknologi untuk mempertahankan ikatan sosial.

Padahal, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa komunitas yang bertahan dan dapat bangkit setelah bencana adalah mereka yang memiliki jejaring sosial kuat.

Sementara itu, orang-orang di komunitas yang paling buruk adalah mereka yang tidak memiliki koneksi sosial kuat dan tidak saling memercayai. Orang-orang seperti itu sering kali menjadi yang pertama hancur karena bencana.

Hal itu seperti yang terjadi di Jepang saat gempa bumi dan tsunami 2011, kebakaran di California 2018, dan gelombang panas di Chicago 1995.

Pendapat lainnya

Berbeda dengan Aldrich, Profesor Sosiologi di University of Colorado dan direktur National Hazards Center Lori Peek menganggap istilah social distancing sudah mengakar.

Menurut dia, masyarakat telah memahami apa itu social distancing. Mengubah istilahnya hanya akan membuat masyarakat bingung.

Dia tidak akan mengubah istilah apa pun pada saat ini karena menganggapnya sebagai bagian dari menjaga pesan yang jelas dan konsisten dari sumber tepercaya.

Baca juga: Physical Distancing, Judika dan Selebriti Lain Tunda Agenda Main Bola

Sementara itu, Profesor Emeritus Perencanaan Kota dan Daerah di University of Illinois Robert Olshansky melihat paradoks dalam istilah social distancing.

"Paradoksnya adalah bahwa kita menjadi sangat kolaboratif dan sosial dengan saling setuju untuk tinggal sejauh enam kaki dari satu sama lain," katanya.

Olshansky, yang mempelajari bagaimana masyarakat pulih setelah bencana, berpendapat dalam istilah social distancing sangat jelas bahwa itu persoalan fisik bukan sosial.

Hal itu terlihat jelas di dunia maya dan media sosial, di mana orang-orang tidak sendirian. Meskipun mereka terpisah secara fisik.

Olshansky setuju dengan Aldrich tentang pentingnya jejaring sosial dalam bertahan dan pulih dari bencana.

"Sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa komunitas kolaboratif dan saling mendukung adalah komunitas yang paling berhasil dalam pemulihan yang berkelanjutan dari bencana besar," kata Olshansky.

Belajar dari bencana di Jepang, dukungan emosional bisa memulihkan lebih baik daripada kekayaan atau kesehatan fisik.

Dia mempelajari bahwa hal yang memengaruhi tingkat kecemasan orang-orang yang berlindung di dalam ruangan adalah apakah mereka memiliki tetangga atau teman bicara.

Baca juga: Cegah Corona, 3 Maskapai Ini Terapkan Physical Distancing, Berikut Penjelasannya

KOMPAS.com/AKbar Bhayu Tamtomo Infografik: Mengenal Social Distancing

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com