Apa yang dilakukan JK menjadi salah satu referensi resolusi konflik pasca-Orde Baru. Inisiatifnya, caranya memanfaatkan momentum, dan menggertak posisi lawan.
Pendekatannya dalam menyelesaikan masalah, jelas berbeda dengan pendekatan militer yang sekarang masih digunakan untuk menyelesaikan Papua.
Sebenarnya, saat itu pertanyaan saya bercabang, pertanyaan kedua saya adalah bagaimana teknis penyelesaian konflik dalam transisi kabinet yang hampir berlangsung, namun saya tidak mendapatkan jawabannya.
Walau sebenarnya, pasti juga ada cara JK yang relevan dalam penyelesaian konflik di Papua yang kunjung meredam, yang serasa tabu untuk diperdebatkan sampai ke akar permasalahannya.
Pertanyaannya adalah, siapakah sekarang yang mewarisi model penyelesaian konflik ala JK?
Indonesia, sebuah melting pot yang selalu punya risiko konflik antar-etnis, yang insidental maupun manifest, dan pasti ada titik lain yang punya potensi konflik serupa, tidak hanya Papua.
Konflik Papua menjadi pekerjaan rumah yang harus mulai digarap oleh kabinet periode baru. Dengan meredamnya pemberitaan media, bukan berarti konflik tersebut sudah selesai.
Malahan, bisa jadi ada indikasi kabinet baru sengaja memupuk konflik manifest kembali menjadi laten. Dan, itu sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah.
Peneliti LIPI, mendiang Muridan S Widjojo, pernah memaparkan hasil kajiannya selama bertahun-tahun, bahwa akar konflik di Papua dibagi menjadi empat bagian.
Bagian itu adalah masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia, operasi militer yang terkait dengan pelanggaran HAM, stigma orang Papua sebagai orang yang termarjinalisasi, dan kegagalan dalam pembangunan Papua. Pembangunan tidak hanya sekadar fisik, tapi dalam hal kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
Bila masalah sudah terpetakan, berarti tinggal menunggu inisiatif dari eksekutif untuk merumuskan strategi dan mengeksekusi penyelesaian konflik, tahap demi tahap.
Bisa jadi, eksekutif dipimpin sendiri oleh presiden atau wakil presiden, seperti ketika JK menggagas perundingan Helsinki bersama GAM pada 2005. Bisa juga diwakilkan pada salah satu menteri koordinator (menko).
Memang, agaknya metode resolusi konflik di Indonesia memang masih hierarkis. Cukup sulit turun ke bawah kalau tidak ada aba-aba dari atas.
Hal ini akan menjadi bencana bila tidak ada eksekutif yang merasa bertanggung jawab dan takut berinisiatif mengajukan strategi penyelesaian. Karena, penyelesaian konflik tidak pernah selesai dengan pendekatan militer. Walaupun, dengan membuat pangkalan militer di Papua juga bukan menjadi suatu kesalahan.
Bila disangkutkan dengan persoalan kepentingan ekonomi politik, di Papua terdapat sentra industri tambang dunia. Semua saling mengisap.
Amerika Serikat, sebagai salah satu pemilik saham Freeport, membangun pangkalan militernya, Robertson Barracks di Darwin, Australia Utara yang berjarak 1.209 km dari Papua, atau sejengkal Jakarta ke Denpasar.
Rasanya, kekuatan militer di zaman modern sudah mengalami perubahan orientasi. Dari sekadar menjaga batas wilayah menjadi penjagaan aset ekonomi sebuah negara.
Namun, intervensi yang dilakukan oleh militer sendiri juga tidak boleh merepresi orang asli Papua. Walau pada kenyataannya hal itu sudah terjadi dan tidak perlu kita sangkal lagi. Karena dalam sebuah penyelesaian konflik, kadang harus dimulai dengan mengakui kesalahan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.