Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sayonara Jusuf Kalla dan Keresahan soal Papua

Acara tersebut menjadi peluncuran resmi buku kumpulan esai dengan topik Jusuf Kalla yang ikut andil meredam konflik Poso (1998-2002) dan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM (1976-2005).

Saya merasa perlu menuliskan ini setelah mendapatkan respons mengapa Papua tidak dimasukkan dalam salah satu topik esai.

Sebenarnya, seleksi esai telah dimulai sejak Agustus tahun lalu, sebelum masalah Papua menjadi manifest pada Agustus tahun ini.

Untungnya Pak Jusuf Kalla (JK) tetap memberikan kesempatan untuk berdialog tentang Papua.

Apa yang dilakukan JK dalam menyelesaikan konflik Poso melalui penjanjian Malino dan GAM melalui perjanjian Helsinki memang bisa dijadikan salah satu perspektif dalam persoalan Papua.

JK mengatakan, pemerintah masih terus mempelajari tentang konflik Papua, misalnya dengan memetakan perwakilan Papua yang bisa diajak berunding.

Salah satu perbedaan dari masalah Papua dan GAM serta Poso adalah patron dari komunitasnya. Kelompok yang bertikai dalam Poso dan GAM dipimpin oleh satu pentolan.

Adapun di Papua, siapa saja yang terlibat dan memungkinkan diajak berunding, masih dipelajari.

Melihat masalah Papua, JK meminta masyarakat untuk berpikir secara holistik, tidak dari satu sudut pandang saja.

JK mencontohkan bagaimana dirinya mempelajari konflik Aceh. Dia melakukan riset literatur tentang sejarah Aceh.

Ia juga mendengarkan lagu-lagu daerah, meresapi liriknya. Semua itu dilakukan untuk menjiwai dan merasakan perspektif konflik dari pihak yang berlawanan.

Selanjutnya, sebagai seorang negosiator, JK menekankan untuk menjunjung tinggi harga diri pihak yang berkonflik. Jangan sampai ada yang dirugikan dan tidak dihargai.

Kiranya, apa yang disebut JK memang mengandung nilai diplomasi di atas tangan, yang sering digunakan media arus utama dalam mendeskripsikan cara JK mengatasi konflik.

"Kita memberi tawaran yang menguntungkan, tapi dalam prosesnya, kita tidak menerima bargaining. Bila kita mau ditawar, pihak lawan nanti akan meremehkan," kata JK kepada sekitar 34 penulis muda dari seluruh Indonesia mengenai caranya berdiplomasi.

Dalam mendamaikan kedua pihak pun, waktunya berkelanjutan. Tidak selesai saat ada hitam di atas putih saja.

Contohnya saat deklarasi Malino atas konflik Poso, JK yang saat itu merupakan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, harus tetap memantau sisa-sisa konflik yang terjadi.

Ia harus berani datang langsung ke tempat kerusuhan, memberikan gertakan, dan menanggung risiko.

Pendekatannya dalam menyelesaikan masalah, jelas berbeda dengan pendekatan militer yang sekarang masih digunakan untuk menyelesaikan Papua.

Sebenarnya, saat itu pertanyaan saya bercabang, pertanyaan kedua saya adalah bagaimana teknis penyelesaian konflik dalam transisi kabinet yang hampir berlangsung, namun saya tidak mendapatkan jawabannya.

Walau sebenarnya, pasti juga ada cara JK yang relevan dalam penyelesaian konflik di Papua yang kunjung meredam, yang serasa tabu untuk diperdebatkan sampai ke akar permasalahannya.

Pertanyaannya adalah, siapakah sekarang yang mewarisi model penyelesaian konflik ala JK?

Indonesia, sebuah melting pot yang selalu punya risiko konflik antar-etnis, yang insidental maupun manifest, dan pasti ada titik lain yang punya potensi konflik serupa, tidak hanya Papua.

Menunggu eksekutor resolusi konflik

Konflik Papua menjadi pekerjaan rumah yang harus mulai digarap oleh kabinet periode baru. Dengan meredamnya pemberitaan media, bukan berarti konflik tersebut sudah selesai.

Malahan, bisa jadi ada indikasi kabinet baru sengaja memupuk konflik manifest kembali menjadi laten. Dan, itu sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah.

Peneliti LIPI, mendiang Muridan S Widjojo, pernah memaparkan hasil kajiannya selama bertahun-tahun, bahwa akar konflik di Papua dibagi menjadi empat bagian.

Bagian itu adalah masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia, operasi militer yang terkait dengan pelanggaran HAM, stigma orang Papua sebagai orang yang termarjinalisasi, dan kegagalan dalam pembangunan Papua. Pembangunan tidak hanya sekadar fisik, tapi dalam hal kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.

Bila masalah sudah terpetakan, berarti tinggal menunggu inisiatif dari eksekutif untuk merumuskan strategi dan mengeksekusi penyelesaian konflik, tahap demi tahap.

Bisa jadi, eksekutif dipimpin sendiri oleh presiden atau wakil presiden, seperti ketika JK menggagas perundingan Helsinki bersama GAM pada 2005. Bisa juga diwakilkan pada salah satu menteri koordinator (menko).

Memang, agaknya metode resolusi konflik di Indonesia memang masih hierarkis. Cukup sulit turun ke bawah kalau tidak ada aba-aba dari atas.

Hal ini akan menjadi bencana bila tidak ada eksekutif yang merasa bertanggung jawab dan takut berinisiatif mengajukan strategi penyelesaian. Karena, penyelesaian konflik tidak pernah selesai dengan pendekatan militer. Walaupun, dengan membuat pangkalan militer di Papua juga bukan menjadi suatu kesalahan.

Bila disangkutkan dengan persoalan kepentingan ekonomi politik, di Papua terdapat sentra industri tambang dunia. Semua saling mengisap.

Amerika Serikat, sebagai salah satu pemilik saham Freeport, membangun pangkalan militernya, Robertson Barracks di Darwin, Australia Utara yang berjarak 1.209 km dari Papua, atau sejengkal Jakarta ke Denpasar.

Rasanya, kekuatan militer di zaman modern sudah mengalami perubahan orientasi. Dari sekadar menjaga batas wilayah menjadi penjagaan aset ekonomi sebuah negara.

Namun, intervensi yang dilakukan oleh militer sendiri juga tidak boleh merepresi orang asli Papua. Walau pada kenyataannya hal itu sudah terjadi dan tidak perlu kita sangkal lagi. Karena dalam sebuah penyelesaian konflik, kadang harus dimulai dengan mengakui kesalahan.

https://www.kompas.com/tren/read/2019/10/19/201352365/sayonara-jusuf-kalla-dan-keresahan-soal-papua

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke