Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Hari Ini dalam Sejarah: Tragedi Tanjung Priok 12 September 1984

KOMPAS.com - Hari ini 38 tahun lalu, tepatnya 12 September 1984, terjadi kerusuhan di Tanjung Priok, Jakarta Utara atau dikenal dengan peristiwa Tanjung Priok.

Peristiwa kelam yang disebut sebagai Tragedi Tanjung Priok ini menjadi salah satu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada masa Orde Baru.

Jumlah korban tewas akibat kerusuhan Tanjung Priok hingga kini belum dapat dipastikan.

Namun, dikutip dari Kompas.com, (13/9/2021), pemerintah menaksir korban tewas sebanyak 33 orang.

Bagaimana sejarah peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984?

Kronologi peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984

Dilansir dari Kompas.com, (12/9/2021), pada 1980-an, upaya menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal sedang gencar-gencarnya dilakukan pemerintah Orde Baru.

Namun, kebijakan ini menuai protes dari masyarakat.

Salah satu kelompok yang kerap memberi kritik adalah Petisi 50, yang menilai Soeharto mempolitisasi Pancasila.

Petisi 50 sendiri terdiri dari sejumlah tokoh seperti Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, mantan Kapolri Jenderal Purn Hoegeng Imam Santoso, mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, dan eks pemimpin Masyumi Mohammad Nasir.

Masyarakat yang menolak melayangkan kritikan terhadap pemerintah melalui brosur dan spanduk.

Adapun demonstrasi penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal, bersumber pada aksi kekerasan dan penahanan terhadap empat warga, yakni Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe, dan Muhammad Nur.

Keempatnya ditahan lantaran terlibat dalam aksi pembakaran sepeda motor Bintara Pembina Desa (Babinsa), Sersan Hermanu, pada 10 September 1984.

Awal mula kejadian

Pembakaran motor bermula dari Sersan Hermanu yang berniat menghapus brosur dan spanduk yang berisi kritik kepada pemerintah pada 7 September 1984.

Dikutip dari Kompas.id, Hermanu mendatangi mushala Assa'addah dan meminta masyarakat untuk mencopotnya.

Keesokan harinya, ia kembali datang dan masih menemukan brosur serta spanduk kritik terhadap pemerintah di dinding mushala.

Ia pun marah dan mengambil pistol sambil muding-nuding warga.

Banyak warga saat itu menceritakan, Hermanu masuk ke musala hingga ke podium tanpa melepas sepatu larsnya.

Warga pun marah dan meminta Hermanu untuk meminta maaf kepada pengurus dan semua umat Islam.

Melihat kondisi semakin tidak kondusif, pada 10 September, pengurus musala bernama Syarifuddin Rambe dan Ahmad Sahi mencari Hermanu untuk menyelesaikan masalah secara damai.

Upaya damai yang gagal

Hermanu datang ditemani Sertu Rahmad, dan bersedia berdialog dengan pengurus mushala.

Namun, ia menolak meminta maaf dengan dalih bahwa dirinya petugas yang berhak menjaga keamanan dan ketertiban.

Desakan warga membuat Hermanu naik pitam. Tetapi, pengurus mushala tetap meminta untuk menyelesaikan masalah tersebut secara damai.

Di sisi lain, keberadaan Hermanu yang diketahui warga membuat mereka mendatangi secara paksa.

Warga yang marah berupaya menangkap Hermanu. Bahkan, mereka membakar sepeda motor milik Hermanu.

Lantaran semakin kacau, pertemuan yang bertujuan untuk mendamaikan itu pun bubar.

Namun tiba-tiba, datang aparat Kodim 0502 Jakarta Utara dan menangkap dua pengurus mushala serta dua orang warga.

Tujuannya, meminta keempat orang yang ditahan untuk segera dibebaskan.

Sayangnya, upaya Biki tidak ditanggapi dengan baik. Biki dan sejumlah demonstran dihadang aparat keamanan di depan Polres Jakarta Utara.

Saat itu, aparat berusaha melakukan tindakan persuasif untuk membubarkan para demonstran.

Keterangan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban LB Moerdani, dari arah demonstran ada sejumlah provokator yang membawa senjata tajam dan bensin.

Hal ini yang menjadi alasan bagi aparat keamanan untuk bertindak tegas, bahkan brutal.

Aparat mengaku sudah melayangkan tembakan peringatan, tetapi tak ditanggapi oleh massa.

Hingga akhirnya, aparat menghujani massa dengan timah panas sebagai langkah terakhir. Akibatnya, korban dari demonstan pun berjatuhan.

Pada 13 September 1984 pukul 00.00 WIB, aparat mulai mengendalikan situasi.

Demonstran yang terluka dan meninggal dievakuasi ke Rumah Sakit Pusat Angakatn Darat Gatot Subroto.

Aparat militer kemudian melakukan pengeledahan dan penangkapan di sekitar Tanjung Priok.

Catatan Komnas HAM, sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan surat penangkapan.

Mereka kemudian ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur, dan Rumah Tahanan Militer (RTM) Cimanggis.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/12/133100565/hari-ini-dalam-sejarah--tragedi-tanjung-priok-12-september-1984

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke