Pada masa Demokrasi Parlementer, kabinet bertanggung jawab kepada parlemen, bukan kepada presiden.
Peralihan dari Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin mengubah dinamika kekuasaan di dalam pemerintahan, dengan memberikan presiden posisi yang lebih dominan.
Demokrasi Terpimpin berarti bahwa pimpinan terletak di tangan presiden selaku pemimpin besar revolusi.
Pada Maret 1960, presiden membubarkan DPR, yang tidak menyetujui RAPBN untuk tahun 1960 yang diajukan pemerintah.
Dengan Keputusan Presiden RI No. 155 Tahun 1960, anggota DPR hasil Pemilu 1955 secara resmi dihentikan.
Setelah DPR hasil Pemilu 1955 dihapus, dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), pada 24 Juni 1960.
Baca juga: Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR)
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyebabkan penghapusan jabatan perdana menteri di Indonesia, yang sebelumnya merupakan posisi penting dalam sistem pemerintahan parlementer.
Setelah Indonesia meninggalkan Demokrasi Parlementer, jabatan perdana menteri ikut hilang karena konsentrasi kekuasaan berubah ke tangan presiden.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memuluskan jalan menuju Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), alias memberikan peluang bagi militer untuk terlibat dalam urusan politik.
Setelah Dekrit Presiden 1959 dikeluarkan, keterlibatan militer dalam politik meluas dengan cepat.
Bahkan Kabinet Kerja yang diumumkan Soekarno pada 10 Juli 1959, sepertiganya berasal dari kalangan militer.
Referensi: