Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ignatius B Prasetyo

A Masterless Samurai

Humor Itu Sehat?

Kompas.com - 12/02/2024, 12:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

APAKAH Anda sudah tertawa hari ini? Maksud saya, bukan menertawakan keadaan atau malah menertawakan diri sendiri. Namun, tertawa karena mendengar atau melihat humor yang membuat hati gembira.

Tertawa memang perlu. Seperti kata Aristoteles, tertawa adalah hak istimewa yang hanya dimiliki oleh manusia. Sehingga, rugi kalau orang tidak pernah tertawa.

Apalagi tertawa, baik untuk kesehatan jiwa dan raga. Ada banyak hasil penelitian yang menunjukkan manfaat tertawa.

Misalnya, saat tertawa maka alpha waves yang dikeluarkan otak bertambah. Ini mampu menimbulkan rasa rileks.

Hormon endorfin juga bertambah ketika tertawa. Sehingga kita bisa merasa bahagia.

Kita juga tahu manfaat tertawa dari tinjuauan peribahasa. Sebagai catatan, umumnya peribahasa mempunyai makna moral, dan merupakan hasil pengalaman hidup manusia sejak zaman dahulu.

Contohnya ungkapan dalam bahasa Inggris "Laughter is the best medicine". Dalam bahasa Jepang, ada peribahasa "Warau kado niwa fuku kitaru". Artinya keberuntungan akan datang pada pribadi (atau keluarga) yang penuh tawa.

Humor yang mengundang tawa memang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Karena dengan humor, maka kita (diharapkan) mempunyai daya tahan tinggi di tengah kerasnya roda kehidupan, maupun ketika ada kepahitan yang dirasa dalam bermasyarakat.

Pertanyaannya kemudian, apakah humor diperlukan dalam politik, misalnya waktu kampanye?

Saya pikir tidak ada masalah. Terus terang, justru saya terhibur dengan gerakan tubuh atau ucapan lucu dari seseorang saat kampanye, bahkan ketika debat capres/cawapres lalu.

Jika pertanyaannya, apakah itu efektif? Saya kira jawabannya sedikit rumit. Alasannya, ada banyak penafsiran, baik dari sisi pelaku humor maupun dari lawannya (dalam hal ini pemirsa).

Seseorang mungkin melakukan gerakan tubuh atau membuat ucapan dengan tujuan bukan untuk melucu. Akan tetapi, orang yang melihat atau mendengar, bisa jadi menganggap itu lucu, lebih-lebih membuat dia tertawa.

Hal sebaliknya dapat terjadi. Orang yang berbuat demikian memang sengaja membuat humor, agar pemirsa tertawa. Namun kenyataanya, penonton tidak tertawa, malah membuatnya mengernyitkan dahi.

Penggunaan humor pada politik memang "ngeri-ngeri sedap". Salah skenario bisa berakibat fatal.

Paul Lewis, seorang profesor di Boston Collage mengatakan bahwa humor, umumnya dipakai dalam politik jika ada kesalahan, atau sesuatu yang buruk terungkap.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com