Sejarawan Baskara T Wardaya dalam bukunya Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno menuliskan kesaksian Andaryoko yang mengaku sebagai mantan pejuang PETA dan terlibat dalam pemberontakan di Blitar.
Dalam wawancara yang dimuat dalam buku Baskara T Wardaya, Andaryoko mengklaim bahwa dirinya adalah Supriyadi, sang pemimpin Pemberontakan PETA di Blitar.
Namun, data keluarga Andaryoko berbeda dengan Supriyadi. Ia lahir di Salatiga pada 22 Maret 1920. Orangtuanya pun bukanlah Darmadi, Bupati Blitar.
Andaryoko juga menyebut, saat pemberontakan, dia selamat dari serangan tentara Jepang dan kemudian melarikan diri ke hutan.
Setelah menjalani masa pelarian di hutan selama berbulan-bulan, Andaryoko kemudian kembali ke rumah orangtuanya di Salatiga.
Ia lalu pergi ke Jakarta dan mengaku menemui Bung Karno untuk meminta saran agar tidak lagi menjadi buronan Jepang.
Andaryoko mengatakan, Bung Karno lantas menyuruhnya kembali ke Semarang untuk menemui Wakil Residen KRT Mr. Wongsonegoro.
Oleh Wongsonegoro, Andaryoko lantas diangkat sebagai staf Karesidenan Semarang.
Bukan hanya itu, ia mengaku di sanalah Supriyadi berganti nama menjadi Andaryoko.
Menurutnya, Wongsonegoro menyarankan Supriyadi untuk mengganti nama agar tidak ketahuan Jepang. Ia lantas memilih nama Andaryoko dan menggunakan nama itu hingga kini.
Meski demikian, klaim Andaryoko sebagai Supriyadi tentu tidak dapat sepenuhnya dipercaya karena tidak adanya bukti yang kuat.
Keberadaan Supriyadi pun tetap menjadi misteri yang belum terpecahkan hingga kini.
Kendati belum ada titik terang soal keberadaannya, pada 9 Agustus 1975, Supriyadi dinyatakan telah meninggal dunia oleh pemerintah Indonesia.
Referensi: