Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Misteri Hilangnya Supriyadi, Pemimpin Pemberontakan PETA Blitar

KOMPAS.com - Pada 14 Februari 1945, Shodancho Supriyadi, seorang prajurit Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar, menghilang tanpa jejak.

Setelah Indonesia merdeka, Supriyadi sebenarnya sempat diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai menteri pertahanan dan keamanan.

Namun, ia tidak pernah muncul lagi setelah Pemberontakan PETA di Blitar digagalkan Jepang.

Misteri menghilangnya Supriyadi masih menjadi tanda tanya hingga kini. Supriyadi apa masih hidup atau sudah mati?

Siapa Supriyadi?

Supriyadi adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia yang keberadaannya tidak diketahui hingga kini.

Ia lahir di Trenggalek, Jawa Timur, pada 13 April 1923, sehingga belum genap berusia 22 tahun saat memimpin Pemberontakan PETA di Blitar.

Supriyadi adalah putra Bupati Blitar, Raden Darmadi. Ibunya juga seorang bangsawan bernama Rahayu. Namun, sang ibu meninggal dunia saat Supriyadi berusia dua tahun.

Setelah ibunya meninggal dunia, Supriyadi dirawat oleh sang kakek dengan didikan cukup keras.

Lantaran terlahir dari keluarga bangsawan, Supriyadi dapat mengenyam pendidikan dengan baik.

Ia tamat sekolah dasar Belanda, sebelum akhirnya lanjut di MULO atau setara Sekolah Menengah Atas (SMA).

Setelah itu, Supriyadi masuk ke Sekolah Pamong Praja di Magelang, Jawa Tengah.

Akan tetapi, di tengah pendidikannya itu, Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, sehingga Supriyadi putus sekolah.

Satu tahun kemudian atau pada 1943, Supriyadi akhirnya menyelesaikan sekolahnya dengan mengikuti pelatihan di Seimendoyo, yang diselenggarakan penduduk di Tangerang, Banten.

Selama bersekolah di Tangerang, Supriyadi juga mengikuti pelatihan militer.

Setelah lulus sekolah, Supriyadi lantas bergabung dengan PETA pada akhir 1943. Ia menjalani pelatihan di sekolah perwira PETA di Tangerang dan menerima pangkat komandan peleton. 

Dari Tangerang, Supriyadi dikirim ke Blitar, Jawa Timur, pada awal 1944. 

Ia kemudian menjadi pemimpin pasukan Pembela Tanah Air (PETA) Batalion Blitar di bawah kendali pemerintah militer Jepang.

Pemberontakan PETA Blitar dan Menghilangnya Supriyadi

Supriyadi bersama rekan-rekan seperjuangannya melancarkan pemberontakan PETA Blitar karena prihatin melihat kesengsaraan rakyat Indonesia akibat penjajahan Jepang.

Pemberontakan itu sebenarnya sudah direncanakan sejak September 1944, tetapi baru dilaksanakan pada 14 Februari 1945 berdekatan dengan agenda pertemuan seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar.

Pada dini hari tanggal 14 Februari 1945, Supriyadi pun memimpin pasukan PETA memberontak.

Mereka menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira militer Jepang serta menyerang Markas Kempetai.

Namun, sayangnya, pemberontakan PETA Blitar gagal karena aksi Supriyadi dan rekan-rekannya telah diketahui Jepang yang dengan cepat mengirimkan pasukan militer.

Pemberontakan pun dipadamkan. Jepang menangkap sebanyak 78 perwira dan prajurit PETA untuk dipenjara dan diadili di Jakarta.

Sebanyak enam orang divonis hukuman mati pada 16 Mei 1945, enam orang dipenjara seumur hidup, sedangkan sisanya dijatuhi hukuman sesuai tingkat kesalahan.

Sementara itu, sang pemimpin Pemberontakan PETA Blitar, Supriyadi menghilang dan tidak pernah muncul lagi.

Apakah Supriyadi masih hidup?

Misteri menghilangnya Supriyadi masih belum terjawab hingga kini dan menimbulkan berbagai spekulasi.

Sebagian pihak meyakini Supriyadi berhasil lolos dari sergapan tentara Jepang, tetapi keberadaannya tidak diketahui.

Beberapa pihak lainnya menyebut Supriyadi telah tewas terbunuh oleh Jepang dalam pemberontakan PETA di Blitar. Namun, tidak ada yang tahu di mana jasad dan kuburan Supriyadi.

Sementara itu, ada juga beberapa orang yang kemudian muncul dan mengaku sebagai Supriyadi.

Salah satu orang yang mengklaim dirinya Supriyadi adalah Andaryoko Wisnu Prabu, seorang pensiunan asal Semarang.

Sejarawan Baskara T Wardaya dalam bukunya Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno menuliskan kesaksian Andaryoko yang mengaku sebagai mantan pejuang PETA dan terlibat dalam pemberontakan di Blitar.

Dalam wawancara yang dimuat dalam buku Baskara T Wardaya, Andaryoko mengklaim bahwa dirinya adalah Supriyadi, sang pemimpin Pemberontakan PETA di Blitar.

Namun, data keluarga Andaryoko berbeda dengan Supriyadi. Ia lahir di Salatiga pada 22 Maret 1920. Orangtuanya pun bukanlah Darmadi, Bupati Blitar.

Andaryoko juga menyebut, saat pemberontakan, dia selamat dari serangan tentara Jepang dan kemudian melarikan diri ke hutan.

Setelah menjalani masa pelarian di hutan selama berbulan-bulan, Andaryoko kemudian kembali ke rumah orangtuanya di Salatiga.

Ia lalu pergi ke Jakarta dan mengaku menemui Bung Karno untuk meminta saran agar tidak lagi menjadi buronan Jepang. 

Andaryoko mengatakan, Bung Karno lantas menyuruhnya kembali ke Semarang untuk menemui Wakil Residen KRT Mr. Wongsonegoro. 

Oleh Wongsonegoro, Andaryoko lantas diangkat sebagai staf Karesidenan Semarang. 

Bukan hanya itu, ia mengaku di sanalah Supriyadi berganti nama menjadi Andaryoko.

Menurutnya, Wongsonegoro menyarankan Supriyadi untuk mengganti nama agar tidak ketahuan Jepang. Ia lantas memilih nama Andaryoko dan menggunakan nama itu hingga kini.

Meski demikian, klaim Andaryoko sebagai Supriyadi tentu tidak dapat sepenuhnya dipercaya karena tidak adanya bukti yang kuat.

Keberadaan Supriyadi pun tetap menjadi misteri yang belum terpecahkan hingga kini.

Kendati belum ada titik terang soal keberadaannya, pada 9 Agustus 1975, Supriyadi dinyatakan telah meninggal dunia oleh pemerintah Indonesia.

Referensi:

  • Wardaya, F. X. B. T. (2008). Mencari Supriyadi: kesaksian pembantu utama Bung Karno. Indonesia: Galangpress.
  • Pahlawan Nasional Supriyadi. (n.d.). (n.p.): Balai Pustaka (Persero), PT.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/08/12/110000379/misteri-hilangnya-supriyadi-pemimpin-pemberontakan-peta-blitar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke