Namun, meski telah mendapatkan banyak bantuan dari Turki, Aceh tidak pernah berhasil melemahkan kekuatan Portugis di Malaka.
Setidaknya terdapat tiga faktor penyebab kegagalan serangan Aceh terhadap Portugis di Malaka, yaitu:
Baca juga: Akhir Perlawanan Rakyat Aceh terhadap Portugis
Menurut Ricklefs, setelah kematian Sultan Alauddin Riayat Syah pada 1571, perkembangan militer Kerajaan Aceh terganggu akibat pertikaian internal kerajaan.
Kemelut di istana Kerajaan Aceh ditandai dengan perebutan kekuasaan.
Antara 1571 hingga 1607, Kerajaan Aceh dipimpin oleh delapan sultan secara bergantian, dan dua di antaranya bukan keturunan pendiri kerajaan.
Sultan-sultan tersebut umumnya hanya memerintah selama beberapa tahun atau bahkan beberapa bulan saja.
Pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar, kekuatan militer Aceh benar-benar kuat karena diperhatikan oleh sultan.
Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar juga menjaga hubungan baik dengan Sultan Salim II dari Ottoman agar mendapat bantuan yang dibutuhkan untuk menghadapi Portugis.
Bantuan dari Kekaisaran Ottoman tidak dapat direalisasikan dengan baik sepeninggal Sultan Alauddin, yang disusul kematian Sultan Salim II pada 1574.
Baca juga: Apa Hubungan Aceh dengan Turki Usmani?
Di Kekaisaran Ottoman, Sultan Murad III yang menggantikan Sultan Salim II tidak berminat besar untuk memperjuangkan kawasan selatan karena harus melayari lautan yang sangat jauh.
Terlebih, Kekaisaran Ottoman juga harus mengirim bantuan kepada wilayah vasalnya yang menghadapi pemberontakan.
Situasi di Kerajaan Aceh dan Kekaisaran Ottoman itu membuat hubungan Aceh-Turki memudar sehingga serangan terhadap bangsa Portugis di Malaka menjadi tidak maksimal.
Serangan yang direncanakan ke Malaka sering kandas di tengah jalan karena strategi yang kurang matang.
Ketika Sultan Iskandar Muda naik takhta pada 1606, ambisi untuk menyerang Portugis di Malaka yang sempat turun, kembali dihidupkan.
Pada 1615, Sultan Iskandar Muda memimpin ekspedisi terbesar yang pernah dikirim Kerajaan Aceh untuk menyerang Portugis.