Hal ini yang kemudian menuntun Erich Fromm pada pemahaman bahwa individu-individu yang berperilaku tertentu karena didorong Hasrat memiliki sebenarnya dilatarbelakangi oleh adanya kecemasan dan ketakutan.
Individu yang cemas dan takut, akan memunculkan perilaku tertentu dengan tujuan memiliki “sesuatu” yang mereka pikir akan mengatasi kecemasan dan ketakutan mereka.
Akan tetapi hal ini malah semakin membuat individu terbeban dan menderita, karena menjadikan kepemilikan atas sesuatu menjadi syarat kebahagiaan.
Pemaparan Erich Fromm ini sebenarnya dapat menjelaskan fenomena korupsi atau perilaku individu yang serakah akan harta duniawi.
Seseorang yang korupsi, sebenarnya memiliki kecemasan dan ketakutan yang mungkin tidak disadari.
Catatan ketiga dari Rick Hanson, seorang ilmuwan psikologi Amerika. Tahun 2009, bersama Rick Mendius, ia menulis buku berjudul “Buddha’s Brain”.
Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, bisa diartikan sebagai pikiran Buddha. Melalui buku ini, mereka menunjukkan bahwa laku dalam ajaran Buddha dapat membantu otak manusia memunculkan kebahagiaan, cinta, dan kebijaksanaan.
Otak itu memiliki sifat yang liat, bisa berubah seiring pengalaman. Emosi positif menstimulasi otak memunculkan sesuatu yang baik seperti kegembiraan. Sedangkan emosi negatif menstimulasi otak memunculkan hal buruk, seperti kecemasan.
Ajaran-ajaran Buddha seperti meditasi, kesadaran, dan welas asih dipercaya dapat memberi dampak positif bagi otak.
Catatan terakhir, dari Mark Epstein, psikiatris dan psikoterapis dari Amerika. Ia banyak menulis buku yang mengaitkan antara praktik ajaran Buddha dengan psikologi dan psikoterapi.
Di buku “Thought Without a Thinker” (2013), ia menyatakan bahwa garis antara psikologi dan spiritulitas semakin kabur. Keduanya sama-sama berusaha mencari perspektif baru tentang diri manusia.
Mark Epstein menuturkan bahwa ajaran Buddha membentuk kembali pemahaman kita akan pikiran dan perilaku manusia.
Alih-laih menyibukkan diri untuk mengubah kondisi di luar diri, seperti lingkungan dan relasi kita, seharusnya kita memfokuskan diri untuk terjadinya perubahan dalam diri.
Belajar menyadari setiap emosi yang hadir dalam diri, seperti saat meditasi, merupakan salah satu cara “menyembuhkan” penyakit mental.
Masih banyak ilmuwan dan tokoh psikologi yang mengupas ajaran Buddha. Secara umum, mereka melihat bahwa ajaran Buddha dan psikologi memiliki arah yang sama, sama-sama berusaha mengupas diri.
Pembedanya ialah bahwa psikologi berkembang didasari positivisme dan empirisme “barat”, sedangkan ajaran Buddha kental dengan filosofi “timur” yang lebih melihat yang dalam dan transenden.
Sejauh ini, sampai saat ini keduanya ternyata dapat berjalan seiring sejalan untuk menemukan siapa diri manusia sebenarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.