Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Catatan Psikologi tentang Buddha

Ajaran Buddha telah tersebar kurang lebih sejak 500 tahun sebelum masehi. Ajaran-ajaran Budhha menyebar ke berbagai pelosok penjuru dunia; diturunkan dari generasi ke generasi, tidak hanya sebagai ajaran agama oleh penganut sang Buddha, tetapi juga telah berinkulturasi dengan berbagai budaya lokal dan membuat tradisi-tradisi baru yang sampai sekarang masih bisa kita jumpai.

Psikologi sebagai ilmu pengetahuan ternyata juga “bertemu” dengan ajaran Buddha. Jika merujuk dari tahun berdirinya laboratorium psikologi pertama oleh Wilhelm Wundt, ilmu psikologi baru muncul tahun 1897, terpaut lebih dari seratus abad setelah era kehidupan sang Buddha.

“Pertemuan” psikologi dengan ajaran Buddha baru terjadi abad 20, atau tepatnya saat Carl Jung, seorang ilmuwan psikologi dari Swiss, pergi ke India untuk mempelajari ajaran Buddha dan Hindu.

Selanjutnya setelah itu, mulai pertengahan tahun 1950-an, saat era perkembangan psikologi humanistik, semakin banyak imuwan psikologi yang melihat bahwa ilmu psikologi dan ajaran Buddha dalam beberapa bagian memiliki kesamaan.

“Pertemuan” psikologi dan ajaran Buddha semakin lebih sering terjadi setelah kajian psikologi transpersonal berkembang tahun 1980-an.

Berikut adalah catatan dari beberapa ilmuwan psikologi tentang “pertemuan” ilmu psikologi dan ajaran Buddha.

Catatan pertama dari Carl Rogers, ilmuwan psikologi penggagas konsep ketidaksadaran kolektif dan arketipe.

Dari Desember 1937 hingga Februari 1938, Carl Jung pergi ke India untuk mempelajari ajaran Hindu, Yoga, dan Buddha.

Di bukunya “The Psychology of Eastern Meditation” (1978), Carl Jung menulis bahwa meditasi budhis mirip dengan individuasi, proses pertumbuhan dan perkembangan aspek psikologis individu.

Rogers mengatakan bahwa meditasi budhis dan proses individuasi sama-sama proses untuk menyadari apa yang ada di pikiran bawah sadar.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa melalui meditasi dan latihan spiritual yang lain, individu dapat menjalani proses individuasi hingga sadar sepenuhnya akan diri mereka.

Catatan kedua dari Erich Fromm, ilmuwan psikologi dari Jerman yang pernah menulis “The Art of Loving” (1956). Di buku “TO HAVE OR TO BE?” (1976), ia menulis juga tentang ajaran Buddha.

Erich Fromm melihat bahwa ajaran Buddha dan psikologi memiliki keterkaitan. Ajaran Buddha dapat memberikan perspektif baru kepada psikologi “barat” untuk memahami manusia.

Erich Fromm menulis bahwa Buddha mengajarkan sumber dari segala penderitaan ada di pikiran dan cara untuk mengatasi penderitaan adalah dengan mencapai kesadaran dan membebaskan pikiran.

Hal ini yang kemudian menuntun Erich Fromm pada pemahaman bahwa individu-individu yang berperilaku tertentu karena didorong Hasrat memiliki sebenarnya dilatarbelakangi oleh adanya kecemasan dan ketakutan.

Individu yang cemas dan takut, akan memunculkan perilaku tertentu dengan tujuan memiliki “sesuatu” yang mereka pikir akan mengatasi kecemasan dan ketakutan mereka.

Akan tetapi hal ini malah semakin membuat individu terbeban dan menderita, karena menjadikan kepemilikan atas sesuatu menjadi syarat kebahagiaan.

Pemaparan Erich Fromm ini sebenarnya dapat menjelaskan fenomena korupsi atau perilaku individu yang serakah akan harta duniawi.

Seseorang yang korupsi, sebenarnya memiliki kecemasan dan ketakutan yang mungkin tidak disadari.

Catatan ketiga dari Rick Hanson, seorang ilmuwan psikologi Amerika. Tahun 2009, bersama Rick Mendius, ia menulis buku berjudul “Buddha’s Brain”.

Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, bisa diartikan sebagai pikiran Buddha. Melalui buku ini, mereka menunjukkan bahwa laku dalam ajaran Buddha dapat membantu otak manusia memunculkan kebahagiaan, cinta, dan kebijaksanaan.

Otak itu memiliki sifat yang liat, bisa berubah seiring pengalaman. Emosi positif menstimulasi otak memunculkan sesuatu yang baik seperti kegembiraan. Sedangkan emosi negatif menstimulasi otak memunculkan hal buruk, seperti kecemasan.

Ajaran-ajaran Buddha seperti meditasi, kesadaran, dan welas asih dipercaya dapat memberi dampak positif bagi otak.

Catatan terakhir, dari Mark Epstein, psikiatris dan psikoterapis dari Amerika. Ia banyak menulis buku yang mengaitkan antara praktik ajaran Buddha dengan psikologi dan psikoterapi.

Di buku “Thought Without a Thinker” (2013), ia menyatakan bahwa garis antara psikologi dan spiritulitas semakin kabur. Keduanya sama-sama berusaha mencari perspektif baru tentang diri manusia.

Mark Epstein menuturkan bahwa ajaran Buddha membentuk kembali pemahaman kita akan pikiran dan perilaku manusia.

Alih-laih menyibukkan diri untuk mengubah kondisi di luar diri, seperti lingkungan dan relasi kita, seharusnya kita memfokuskan diri untuk terjadinya perubahan dalam diri.

Belajar menyadari setiap emosi yang hadir dalam diri, seperti saat meditasi, merupakan salah satu cara “menyembuhkan” penyakit mental.

Masih banyak ilmuwan dan tokoh psikologi yang mengupas ajaran Buddha. Secara umum, mereka melihat bahwa ajaran Buddha dan psikologi memiliki arah yang sama, sama-sama berusaha mengupas diri.

Pembedanya ialah bahwa psikologi berkembang didasari positivisme dan empirisme “barat”, sedangkan ajaran Buddha kental dengan filosofi “timur” yang lebih melihat yang dalam dan transenden.

Sejauh ini, sampai saat ini keduanya ternyata dapat berjalan seiring sejalan untuk menemukan siapa diri manusia sebenarnya.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/06/07/123000279/catatan-psikologi-tentang-buddha

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke