Pada saat merantau ke Jawa, dia belajar kepada H.O.S. Tjokroamnoto tentang Islam dan sosialisme, kepada Soerjopranoto tentang sosiologi, dan kepada H.R. Fachruddin dalam ilmu tauhid, dan kepada Ki Bagus Hadikusumo tentang tafsir Al-Quran.
Yang paling mengesankan dan melekat dalam hati Hamka adalah tatkala dia menyaksikan Tjokroaminoto berpidato sehingga sangat berpengaruh terhadap jiwanya.
Sebenarnya bukan hanya Hamka, Soekarno pun belajar politik dan berpidato dari Tjokto. Malah kalau kita membaca sejarah pergerakan, hampir semua pahlawan Indonesia atau founding father kita belajar kepada Tjokro.
Tjokro adalah guru para pahlawan Indonesia yang digelari raja tanpa mahkota.
Yang membedakan Hamka dari pengarang atau wartawan lain pada masa itu adalah jika pengarang-pengarang atau wartawan lain di masa itu mengambil ilham dari kesusastraan Barat, terutama kesusastraan Belanda, maka Hamka mendalami kesusastraan Arab.
Dia adalah satu-satunya pemimpin pemikiran Indonesia generasi pertama yang tidak mendapatkan pendidikan Barat.
Dia tak pernah belajar bahasa Belanda, yang menjadi ciri khas pribumi terpelajar dan pemimpin nasionalis dalam masa pendirian Indonesia.
Hamka hanya beberapa tahun mengenyam pendidikan formal. Jendela dunia luar bukanlah bahasa Belanda, melainkan bahasa Arab yang dipelajari sejak kecil atas perintah tegas ayahnya. Hamka bisa dikatakan besar karena otodidak alias belajar mandiri.
Pada awal kariernya sebagai pengarang, Hamka secara finansial sangat kekurangan, bahkan pernah honornya dari Pelita Andalas hanya dibayar dengan secangkir kopi dari kedai kopi Tionghoa yang ada di samping kantornya.
Dia mulai mendapat honor yang agak besar setelah menggunakan seluruh waktunya untuk belajar dan menulis. Hamka mencoba menerbitkan majalah al-Mahdi dimana dia bekerja sebagai editor, administrator, dan penulis sekaligus.
Dia juga berhasil menerbitkan saduran kisah cinta terkenal dari Arab, Laila Majnun yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, selain suatu perestasi tersendiri juga dapat menambah penghasilan.
Pada usia 19 tahun, dia menerbitkan karya fiksi pertamanya yang berjudul Si Sabariyah. Dari novelnya itu dia mendapat bayaran yang kemudian digunakan untuk membiayai pernikahannya.
Dan dari karya itulah dia memiliki kepercayaan diri dan keberanian untuk mengarang lagi selanjutnya.
Hamka memulai nulis novel perdanya Di Bawah Lindungan Ka’bah yang ditulis berseri di majalah Pedoman Masjarakat yang kemudian dibukukan pada 1927.
Novel keduanya dengan judul Tenggelamnya Kapal van der Wijck pada 1938 dengan menggunakan jalan cerita novel Perancis versi terjemahan bahasa Arab oleh Manfaluthi, Sous les tilleuls (Di Bawah Pohon Linden) karya Alphonse Karr 1832.