Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Suherman
Analis Data Ilmiah BRIN

Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat ASEAN, Peraih medali emas CONSAL Award

Hamka: Menjadi Adicerita Indonesia karena Membaca (Bagian I)

Kompas.com - 07/05/2023, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAYA sendiri tatkala mendengar kata “Hamka” yang pertama kali muncul dalam benak adalah otodidaknya. Belajar mandiri dan sendiri hanya bergulat dengan buku dan pengalaman tanpa dibatasi oleh tembok sekolah yang terkadang menjadi sekat dengan dunia luar.

Membaca pada hakikatnya adalah belajar secara demokratis dengan guru yang tidak hadir secara fisik.

Buku adalah guru imajinatif yang tidak pernah marah, tidak pernah memaksa, tidak pernah berekspresi apa pun.

Buku adalah guru yang mendewasakan karena memberikan kebebasan berpikir dan menafsir atas kata-katanya yang tertuang dalam lembaran kertas.

Bahasan tentang tradisi literasi Hamka ini saya ambil dari buku biografi beliau yang berjudul Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar Untuk Indonesia Modern (Hamka’s Great Story: A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia) karya James R. Rush (2016) dan buku Ayah karya Irfan Hamka (2014).

Nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang disingkat dengan HAMKA yang kemudian menjadi nama penanya.

Hamka lahir dari keluarga terpelajar, pada tahun 1908 (juga tahun berdirinya Budi Utomo) ayahnya Dr. Abdul Karim Amrullah, mendapat gelar Doktor yang mungkin pada waktu itu di Hindia yang mendapat gelar seperti bisa dihitung dengan jari.

Secara formal, Hamka hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar dan belajar Agama Islam, namun keduanya tidak selesai.

Karena tanpa ijazah inilah Hamka tidak diterima bekerja sebagai guru di sokolah Muhammadiyah yang didirikan oleh ayahnya sendiri.

Hamka banyak menghabiskan waktunya dengan belajar sendiri atau otodidak. Hamka banyak membaca buku dan belajar langsung kepada para tokoh dan ulama yang ada di Sumatera Barat, Jawa, dan di Mekah.

Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, begitu bunyi pepatah popular yang sering kita dengar. Begitu pun Hamka, memiliki pribadi multitalenta seperti itu tidak terlepas dari peran ayahnya, Dr. Abdul Karim Amrullah yang juga djuluki Haji Rasul.

Ia seorang intelektual yang sudah khatam membaca Tafsir Jalalain dan kitab-kitab klasik lainnya pada usia enam belas tahun.

Hamka juga terkondisikan oleh lingkungan rumah yang merupakan para pecinta buku. Lingkungan intelektualnya tergambar dalam penuturan Hamka seperti ini: “Haji Rasul menetap di tepi danau Maninjau selama lima belas tahun berikutnya, mendirikan kembali surau dan membangun perpustakaan kecil dekat rumahnya di tepi danau di Muara Pauh.”

Saya memberikan penekanan pada pembangunan perpustakaan untuk menggambarkan betapa lingkungan keluarga beliau adalah keluarga pecinta buku.

Dalam menggambarkan rutinitas keseharian ayahnya Hamka pun bercerita seperti ini: “Beliau (Haji Rasul) kembali ke Kutub Khanahnya, mengarang, menelaah, berzikir, dan membaca Qur’an. Mulutnya senantiasa komat-kamit, karena setiap hari mengkhatamkan Qur’an. Di lain hari Haji Rasul memiliki kebiasaan membaca buku dan majalah dari setelah waktu Ashar sampai menjelang Maghrib. Kebiasaan itu dilakukan karena Rasul mencari nafkah dengan menulis buku, yang dia bawa untuk dijual sambil berceramah keliling Sumatra.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com