Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asa Mencetak Guru Penghayat Kepercayaan

Kompas.com - 08/10/2022, 16:41 WIB
Danur Lambang Pristiandaru,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Pertengahan 2021, Wildhan (26) melepaskan pekerjaannya sebagai staf di Pemerintah Desa Mekarsaluyu, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Musababnya, Wildan lolos seleksi Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) untuk berkuliah di Program Studi (Prodi) Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) Fakultas Bahasa dan Budaya (FBB) Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang, Jawa Tengah.

Perasaan Wildhan saat itu senang bercampur bangga. Sebab, sebagai warga desa, Wildhan mengaku sangat ingin menempuh pendidikan tinggi selepas dia menuntaskan program pendidikan kesetaraan paket C pada 2014.

Baca juga: Teori Masuknya Islam ke Nusantara Menurut Para Ahli Sejarah

Mimpinya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi pun akhirnya terwujud.

Apalagi, program studi tersebut sesuai dengan latar belakangnya sebagai penghayat kepercayaan dari paguyuban Budi Daya.

Selain itu, sejak 2020, dia didapuk menjadi penyuluh untuk siswa penghayat kepercayaan dari paguyuban Budi Daya yang duduk di bangku kelas I di beberapa sekolah menengah atas (SMA) atau sekolah menengah kejuruan (SMK) di Kabupaten Bandung Barat.

Sejauh ini, para pelajar penghayat baru diajar oleh penyuluh penghayat kepercayaan.

Kebutuhan Penyuluh Penghayat Kepercayaan

Diberitakan Kompas.com, menurut Dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM Samsul Maarif, jumlah pengajar bagi siswa penghayat di berbagai wilayah indonesia masih minim.

Di Kota Solo dan sekitarnya, Sekretaris MLKI Solo Gress Raja saat dihubungi Kompas.com juga mengungkapkan bahwa jumlah penyuluh penghayat kepercayaan sangatlah terbatas.

Menurut Gress, hanya ada satu penyuluh penghayat kepercayaan di Soloraya yang memiliki setifikat, itu pun berdomisili di Kabupaten Sukoharjo.

Dia terkadang ditugaskan untuk mengajar siswa penghayat di daerah lain jika dibutuhkan.

“Setiap penyuluh penghayat kepercayaan memiliki sertifikat, termasuk saya. Dan kami sebagai pengajar juga merasa perlu dinaikkan kompetensinya,” kata kata Wildhan saat berbincang dengan Kompas.com di Kampus FBB Untag Semarang, Selasa (6/9/2022).

Kini, Wildhan sudah menginjak semester tiga di perkuliahan. Meski demikian, Wildhan masih aktif sebagai penyuluh penghayat kepercayaan.

“Saya tetap mengajar (siswa penghayat kepercayaan) lewat daring di saat perkuliahan saya sudah dilaksanakan secara tatap muka,” ujar Wildhan.

Wildhan bercerita, selama melakoni peran sebagai penyuluh siswa penghayat kepercayaan, dia juga melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar layaknya pengajar seperti menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), mengajar, menyusun soal, dan memberikan nilai.

Sewaktu awal menjadi penyuluh, Wildhan bercerita mengantongi daftar siswa penghayat kepercayaan yang sudah didata oleh paguyubannya.

Setelah itu, dia mendatangi satu demi satu SMA di wilayah pengajarannya terdapat siswa penghayat kepercayaan.

“Untuk beberapa sekolah mau tidak mau saya menggunakan komunikasi jarak jauh karena waktu itu sedang pandemi,” ujar Wildhan.

Wildhan (26), salah satu mahasiswa Program Studi (Prodi) Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) Fakultas Bahasa dan Budaya (FBB) Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang saat ditemui pada 6 September.KOMPAS.com/DANUR LAMBANG PRISTIANDARU Wildhan (26), salah satu mahasiswa Program Studi (Prodi) Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) Fakultas Bahasa dan Budaya (FBB) Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang saat ditemui pada 6 September.

Saat berkomunikasi dengan sekolah yang ada di daftarnya, Wildhan menjelaskan tugasnya untuk mengajar siswa penghayat kepercayaan di sana.

Wildhan bersyukur tidak ada kendala dalam menjalankan tugasnya dan pihak sekolah mempersilakannya mengajar siswa penghayat.

Dia mengajar para siswa penghayat kepercayaan setiap sepekan sekali, saban Sabtu atau Minggu, di Bale Pasewakan yang terletak di Cicalung, Kecamatan Lembang, Bandung Barat.

“Meskipun menurut tokoh pendiri kami (pendiri Budi Daya, Mei Kartawinata), di ajaran kami, teu aya guru teu aya murid, tidak ada guru tidak ada murid. Semua sejajar,” ucap Wildhan.

Merintis Prodi

Dekan FBB Untag Semarang Yosep Bambang Margono mengatakan, perintisan Prodi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME sudah dimulai sejak 2017. Mulanya, Untag Semarang ditawari Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) untuk membuka prodi pendidikan khusus penghayat kepercayaan.

Baca juga: Bukti Masyarakat Praaksara Telah Mengenal Sistem Kepercayaan

“Yayasan (Pembina Pendidikan 17 Agustus 1945) sebagai pemilik Untag kemudian bersedia. Proses (perintisan pembukaan prodi pendidikan penghayat kepercayaan) kemudian dimulai dengan berbagai focus group discussion,” ucap Yosep.

Yosep mengakui, mempersiapkan prodi membutuhkan proses yang panjang. Dari mulai meyiapkan kurikulum, silabus, mata kuliah, rencana pembelajaran semester (RPS), dan lainnya. Apalagi, prodi tersebut merupakan prodi baru dan satu-satunya di Indonesia. Butuh upaya besar untuk mewujudkannya.

Setelah melakoni proses yang panjang selama empat tahun, termasuk melengkapi berbagai persyaratan, penyusunan kurikululum, capaian pembelajaran, dan tenaga pendidik, Prodi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME akhirnya dibuka pada 2021 melalui Keputusan Mendikbudristek Nomor 418/E/O/2021.

Yosep mengatakan, saat ini Prodi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME di Untag Semarang merupakan satu-satunya perguruan tinggi yang mencetak guru penghayat kepercayaan.

Pembentukannya pun melibatkan diskusi dengan sejumlah akademisi di bidang pendidikan, tenaga pendidik dengan latar belakang penghayat kepercayaan, dan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI).

Sebagai satu-satunya dan prodi pertama untuk mencetak tenaga pendidik penghayat kepercayaan, pembentukannya diakui Yosep tidaklah mudah. Dari mulai menyusun kurikulum, menyiapkan tenaga pendidik, menyusun mata kuliah, sarana prasarana, capaian pembelajaran, dan lain sebagainya.

Apalagi, jumlah paguyuban penghayat kepercayaan di Indonesia sangatlah banyak.

Yosep memaparkan, diperlukan kesepahaman dan kesepakatan bersama untuk merangkainya menjadi satu kesatuan yang umum untuk diajarkan kepada mahasiswa.

“Jumlah SKS (sistem kredit semester) harus 144 di mana 40 persen merupakan mata kuliah kependidikan dan keguruan sedangkan 60 persen sisanya menyangkut adat istiadat, kepercayaan, dan budaya,” terang Yosep.

Untuk mempersiapkan proses pembelajaran di perkuliahan, Untag Semarang merekrut lima tenaga pendidik baru untuk mengampu mata kuliah kependidikan dan keguruan.

Adapun untuk ilmu penghayat, Untag Semarang masih mengandalkan para penghayat, terutama dari MLKI.

Yosep menambahkan, para mahasiwa Prodi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME berasal dari berbagai paguyuban penghayat kepercayaan.

Jumlah mahasiswa angkatan pertama prodi ini, yang kini menginjak semester tiga, sebanyak 33 orang, di mana 32 di antaranya mendapat beasiswa sedangkan sisanya membayar biaya pendidikan sendiri.

Beragam

Kegiatan perkuliahan para mahasiswa Program Studi (Prodi) Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) Fakultas Bahasa dan Budaya (FBB) Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang, 15 September.DOK ISTIMEWA Kegiatan perkuliahan para mahasiswa Program Studi (Prodi) Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) Fakultas Bahasa dan Budaya (FBB) Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang, 15 September.

Mahasiswa Prodi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME juga berasal dari berbagai wilayah di Indonesia mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Bangka Belitung, Mamuju, Kalimantan, Sumba, Jawa Tengah, Cilacap, Jogja, dan lain-lain.

Yosep menjelaskan, Prodi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME didukung beasiswa dari BPI sedari awal pendiriannya. Untuk tahun ajaran baru pada tahun ini, BPI memberikan kuota 35 mahasiswa penerima beasiswa.

“Mungkin ini memang ini baik pemerintah untuk memberikan semacam hak yang sama pada setiap warga negara. Jadi untuk untuk prodi ini, mahasiswa yang mendapatkan beasiswa ditanggung (biaya pendidikan) mulai masuk sampai lulus, empat tahun atau delapan semester,” papar Yosep.

Para mahasiwa Prodi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME bukan hanya diperuntukkan bagi penghayat kepercayaan.

Di angkatan pertamanya, ada tiga mahasiwa yang merupakan nonpenghayat kepercayaan.

Yosep menuturkan, prodi tersebut memang dirancang sebagai prodi yang inklusif.

Institusi, lanjut Yosep, melalui Prodi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME pada dasarnya fokus untuk mempersiapkan mahasiswanya menjadi guru penghayat kepercayaan untuk siswa SD, SMP, dan SMA.

“Prodi ini tidak ekslusif untuk penghayat kepercayaan. Ada (mahasiwa) yang muslim, ada yang Kristen,” kata Yosep.

Salah satu mahasiwa Prodi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME yang bukan penghayat kepercayaan, Faradilla (20), mengaku bahwa sebelum berkuliah di jurusan tersebut, dia bahkan belum apa itu penghayat kepercayaan.

Baru setelah berkuliah di prodi tersebut, perempuan asal Palopo, Sulawesi Selatan ini menjadi lebih banyak mengetahui tentang penghayat kepercayaan.

Dia juga memahami beberapa kendala yang dihadapi penghayat kepercayaan.

Faradilla juga merasa perlu lebih banyak menyebarkan pemahaman kepada masyarakat agar penghayat mendapat hak yang sama, terutama pendidikan bagi siswa penghayat.

Kendala

Faradilla mengatakan, dia mendengar masih ada saja siswa penghayat kepercayaan mulai dari tingkat SD, SMP, hingga SMA tidak mendapatkan pelajaran penghayat kepercayaan sesuai keyakinan mereka.

Mereka terpaksa mengikuti pelajaran dari enam “agama” resmi di Indonesia.

“Sedih juga rasanya. Dan akhirnya saya tahu cerita dari teman-teman ternyata seperti itu. Mungkin kalau saya tidak mendaftar (Prodi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME), saya tidak akan tahu ada penghayat kepercayaan,” ucap Faradilla kepada Kompas.com, Rabu (28/9/2022).

Sementara itu, Gress Raja tak menampik ada beberapa siswa yang sebetulnya penghayat kepercayaan, tetapi mendapatkan pelajaran agama lain.

Dia menambahkan, jumlah siswa penghayat kepercayaan sebenarnya juga tidak terlalu banyak.

Gress berujar, untuk mengganti kolom agama menjadi kepercayaan pun, banyak orang tua yang belum siap. Padahal, sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi No 97/PUU-XIV/2016 tentang pengakuan dan mencantumkan kepercayaan sebagai kolom identitas baru di Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Kegiatan perkuliahan para mahasiswa Program Studi (Prodi) Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) Fakultas Bahasa dan Budaya (FBB) Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang, 15 September.DOK ISTIMEWA Kegiatan perkuliahan para mahasiswa Program Studi (Prodi) Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) Fakultas Bahasa dan Budaya (FBB) Universitas 17 Agustus (Untag) Semarang, 15 September.

Meski demikian, menurut Gress, putusan tersebut baru berlaku beberapa tahun lalu dan beberapa pelajar penghayat yang sudah masuk jenjang SMP hingga SMA telanjur dicantumkan salah satu agama dalam identitasnya.

“Aturan sudah bagus. Sebab ada orang tua yang sudah telanjur punya komunitas agama, rutin ikut kegiatan agama. Terus nanti tiba-tiba mengurus dokumen kependudukan, mereka khawatir ditanya lingkungan. Mungkin banyak yang belum siap,” kata Gress saat dihubungi Kompas.com via sambungan telepon, Kamis (29/9/2022).

Untuk merintis dan mendata agar siswa penghayat kepercayaam mendapatkan pelajaraan sesuai keyakinann, Gress beranggapan hal tersebut perlu dimulai sedari sekolah dasar SD.

Perlu lebih banyak

Gress mengaku berterima kasih karena adanya Prodi Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME. Menurutnya, lulusan dari prodi ini diharapkan dapat mengisi ceruk-ceruk kekosongan guru penghayat kepercayaan.

“Ketika mulai pelayanan adminduk (administrasi kependudukan), pendidikan anak-anak penghayat, tentu saja di lapangan kami juga butuh guru penghayat,” ujar Gress.

Gress memaparkan, pengajaran kepada siswa penghayat kepercayaan sejauh ini masih ditangani oleh penyuluh penghayat kepercayaan yang jumlahnya juga masih sangat minim. Apalagi, para penyuluh penghayat kepercayaan ini bekerja secara sukarela.

“Kami senang sekali dan berharap ada kampus-kampus lain yang mendirikan program-program serupa. Ini membantu MLKI untuk bisa menyiapkan tenaga-tenaga pengajar yang dibutuhkan,” kata Gress.

Baca juga: Ugamo Malim, Kepercayaan Kuno Masyarakat Lokal Batak

Senada dengan Gress, Faradilla juga berharap ada lebih banyak prodi yang mencetak guru penghayat kepercayaan.

Jika lulus nanti, Faradilla mengaku siap mengajar pelajar menghayat meski dirinya bukan seorang penghayat kepercayaan.

Dia juga didorong oleh ibunya untuk terus melanjutkan perkuliahannya agar ke depan bisa berpartisipasi dalam mempromosikan hak-hak penghayat kepercayaan.

“Semoga jurusan ini tidak hanya di Untag Semarang saja, tetapi ada di seluruh indonesia,” tutur Faradilla.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com