KOMPAS.com - Sebelum dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden, antara 1965-1967, Soekarno setidaknya menyampaikan pidato sebanyak 103 kali.
Salah satunya pidato pertanggungjawabannya, Nawaksara, yang disampaikan di depan Sidang Umum ke-IV MPRS pada 22 Juni 1966.
Nawaksara artinya sembilan pokok masalah. Namun, karena isinya cenderung memberi amanat, bukan pertanggungjawaban mengenai masalah nasional, khususnya G30S, seperti yang diinginkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), pidato ini ditolak.
Pada akhirnya, pidato pertanggungjawaban Soekarno, Nawaksara, diganti dengan Pelengkap Nawaksara atau Pel-Nawaksara, sesuai permintaan MPRS.
Baca juga: G30S, G30S/PKI, Gestapu, Gestok, Apa Bedanya?
Pidato Nawaksara adalah pidato pertanggungjawaban Soekarno yang dikemukakan di depan Sidang Umum ke-IV MPRS pada 22 Juni 1966.
Pada sidang MPRS tahun 1966, presiden selaku mandataris MPRS diminta supaya memberikan pertanggungjawaban mengenai kebijaksanaan yang telah dilakukan, khususnya mengenai masalah G30S.
Dalam peristiwa G30S, yang menewaskan tujuh jenderal Angkatan Darat, Partai Komunis Indonesia atau PKI selalu dituduh menjadi dalangnya.
Menindaklanjuti permintaan itu, Soekarno pun membuat sebuah pidato yang ia beri nama Nawaksara.
Nawaksara berasal dari dua kata, yaitu nawa yang berarti sembilan dan aksara yang berarti huruf atau sukukata.
Oleh Soekarno, pidatonya diberi nama Nawaksara karena terdapat sembilan hal yang dibahas di dalamnya.
Baca juga: Proyek Mercusuar Soekarno
Berikut ini sembilan isi dari pidato Nawaksara.
Pada bagian Retrospeksi, Soekarno hanya mengingatkan kembali mengenai amanat yang sebelumnya pernah disampaikan dalam Sidang Umum ke-II MPRS tanggal 15 Mei 1963, berjudul "Ambeg Parama-arta".
Dalam Retrospeksi, Soekarno kembali menyinggung tentang pengertian pemimpin besar revolusi, pengertian Mandataris MPRS, dan pengertian presiden seumur hidup.
Lanjutan dari amanat "Ambeg Parama-arta" adalah amanat "Berdikari", yang pernah disampaikan Soekarno dalam Sidang Umum MPRS ke-III tanggal 11 April 1965.
Soekarno menegaskan tiga hal, yaitu trisakti, rencana ekonomi perjuangan, dan pengertian berdikari.
Baca juga: Nasakom, Konsep Kesatuan Politik ala Soekarno
Pada bagian ini, Soekarno kembali mengingatkan mengenai masalah ekonomi, keuangan, dan pembangunan (Ekubang) yang tidak bisa dipisahkan dari masalah politik.
Justru masalah Ekubang harus didasari dengan manifesto politik buatan Soekarno.
Soekarno mengatakan bahwa detail dari tugas DPR tidak perlu dibahas dalam Sidang Umum MPRS.
Sudah seharusnya semua ditentukan pemerintah bersama-sama dengan DPR, dalam rangka memurnikan pelaksanaan UUD 1945.
Baca juga: Soekarno Presiden Seumur Hidup: Latar Belakang dan Kontroversinya
Soekarno mengingatkan, bahwa UUD 1945 memungkinkan Mandataris MPRS untuk secara lekas dan tepat bertindak dalam keadaan darurat demi keselamatan negara, rakyat, dan revolusi.
Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, revolusi juga terus mengalami peningkatan yang kemudian mengharuskan semua lembaga-lembaga demokrasi bergerak lebih cepat tanpa menyelewengkan Demokrasi Terpimpin ke arah Demokrasi Liberal.
Soekarno menjelaskan kembali tentang rencana pemurnian UUD 1945.
Soekarno berharap bahwa dalam rangka pemurnian UUD 1945, MPRS tidak melupakan tugas dan fungsi mereka.
Baca juga: Mengapa Soekarno Dipilih Menjadi Presiden?
Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa pemilihan jabatan presiden dan wakil presiden, masa jabatan, dan isi sumpahnya, memiliki tujuan agar terjaminnya kesatuan pandangan, kesatuan pendapat, kesatuan pikiran, dan kesatuan tindakan.
Pada bagian penutup, Soekarno lebih menjelaskan tentang asal-usul penamaan pidatonya, Nawaksara.
Hal yang dikemukakan dalam Nawaksara cenderung memberi amanat, bukan pertanggungjawaban sebagaimana diminta oleh MPRS.
Dalam Nawaksara juga sama sekali tidak disinggung masalah G30S, sehingga MPRS mengirim nota kepada presiden agar melengkapi pertanggungjawabannya.
Khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya G30S, beserta epilognya, dan kemunduran ekonomi serta akhlak.
Nota ini dikirim oleh pimpinan MPRS pada 22 Oktober 1966.
Baca juga: De-Soekarnoisasi, Upaya Soeharto Melemahkan Pengaruh Soekarno
Sebagai jawaban atas penolakan MPRS terhadap Nawaksara, pada 10 Januari 1967, Soekarno menyampaikan laporan tertulis.
Laporan tersebut disebut sebagai Pelengkap Nawaksara atau Pel-Nawaksara.
Namun, ternyata isi Pel-Nawaksara tidak meredakan keadaan, justru mengakibatkan situasi semakin menajam.
Pasalnya, Presiden Soekarno menolak untuk memberi pertanggungjawaban tentang G30S.
Menurut Soekarno, peristiwa itu tidak termasuk dalam GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang harus dipertanggungjawabkan olehnya selaku Mandataris MPRS.
Presiden Soekarno menilai, masalah semacam itu dapat diselesaikan presiden bersama DPR-GR, bukan MPRS.
Baca juga: Tragedi Cikini 1957, Upaya Pembunuhan Soekarno
Hampir sama dengan Nawaksara, Pel-Nawaksara juga mendapat nasib tragis karena ditolak MPRS.
Tidak hanya itu, Pel-Nawaksara bahkan dikecam luas oleh berbagai lapisan masyarakat.
Hingga akhirnya, lahirlah TAP MPRS No.XXXIII/1967, sebuah ketetapan yang berisi penggulingan kekuasaan Presiden Soekarno.
Referensi: