KOMPAS.com - Hubungan antara Serbia dan Albania telah mengalami pasang surut sejak sebelum abad ke-19.
Konflik antara dua negara tersebut dilatarbelakangi oleh sejumlah peristiwa sejarah dan politik.
Selain terjadi diskriminasi etnis dan agama oleh kedua pihak, konflik Serbia-Albania terus memanas selama Perang Balkan I, Perang Dunia, dan puncaknya pada Perang Kosovo.
Kini, ketegangan antara etnis Serbia dan Albania masih terus terasa di wilayah Republik Kosovo, yang mendeklarasikan kemerdekaannya dari Serbia pada 2008.
Dalam sejarah Serbia dan Albania, dua negara ini pernah dikuasai oleh Kesultanan Utsmaniyah atau Ottoman selama berabad-abad.
Di bawah kekuasaan Ottoman (1385-1912), mayoritas penduduk asli Albania masuk Islam.
Memasuki abad ke-18, kaum Kristen Ortodoks di Semenanjung Balkan didorong oleh Peter Agung dari Rusia untuk memberontak.
Sejak saat itu, hubungan antara kaum Muslim dan non-Muslim di Semenanjung Balkan pun semakin memburuk.
Baca juga: Konflik Jalur Bukit Chittagong: Latar Belakang dan Pemberontakan
Pada abad ke-19, kekuasaan Ottoman mulai melemah dan Serbia mendapatkan kemerdekaannya kembali.
Ketika konflik antara Serbia dan Ottoman masih berkecamuk, banyak penduduk Albania yang terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka.
Pasalnya, seiring dengan melemahnya Ottoman, diskriminasi dan persekusi terhadap umat Muslim semakin meluas.
Sebagian besar pengungsi Albania kemudian dimukimkan kembali di Kosovo. Dalam perkembangannya, mereka terlibat konflik yang didasari oleh dendam dengan orang-orang Serbia yang lebih dulu mendiami wilayah itu.
Perselisihan antara pendatang Albania dan penduduk Serbia pun meluas menjadi konflik nasional, setelah Liga Albania mengklaim Kosovo sebagai wilayahnya.
Memasuki abad ke-20, populasi etnis Albania di Kosovo semakin meningkat, sedangkan etnis Serbia semakin menurun.
Baca juga: Anak-Anak dalam Perang Dunia I
Pada 1912, Albania resmi memerdekakan diri dari Kesultanan Utsmaniyah yang semakin melemah.