KOMPAS.com - Perang Salib adalah salah satu pertempuran paling besar yang pernah terjadi dalam sejarah dunia.
Perang Salib terjadi pada abad pertengahan dan melibatkan kekuatan Eropa melawan kekuatan muslim.
Gereja Katolik Roma menjadi pihak yang memprakarsai, mendukung, dan mengarahkan terjadinya kampanye militer selama hampir dua abad ini.
Tujuan utama Perang Salib adalah untuk merebut Yerusalem dan Tanah Suci (sekarang Palestina, Israel, sebagian Lebanon dan Yordania) dari tangan umat Islam.
Selain itu, perang ini juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, seperti agama, politik, dan sosial-ekonomi.
Pertempuran ini disebut Perang Salib karena ekspedisi militer dari Eropa menggunakan tanda salib pada bahu, lencana, ataupun panji-panji mereka sebagai simbol yang menunjukkan bahwa peperangan yang dilakukan adalah perang suci.
Perang Salib berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaisans.
Baca juga: Sejarah Perang Salib I (1096-1270)
Palestina berada di bawah kendali umat muslim sejak kekalahan Bizantium pada 636 M.
Sejak saat itu, hubungan antara negara-negara Arab dengan Kristen Eropa mengalami pasang surut.
Pada 1072, Palestina jatuh ke tangan Kekaisaran Seljuk Raya yang saat itu sedang mengalami perkembangan pesat.
Sebenarnya, umat muslim dan Kristen dapat hidup berdampingan. Akan tetapi kondisi di daerah perbatasan kurang bersahabat bagi para pedagang dan peziarah Katolik.
Hal inilah yang kemudian memicu lahirnya dukungan terhadap Perang Salib.
Secara umum, berikut ini beberapa penyebab pecahnya Perang Salib antara 1095-1291.
Baca juga: Dinasti Seljuk, Pendiri Kekaisaran Islam Pertama di Turki
Perang Salib yang paling terkenal adalah peperangan perebutan Tanah Suci yang berlangsung antara 1095-1291.
Perang Salib Pertama dicetuskan oleh Paus Urbanus II pada 1095 dalam sidang Konsili Clermont.