Pakubuwono II mendiami keraton sampai hari wafatnya, yaitu pada 1749.
Setelah itu, pembangunan Keraton Surakarta dilanjutkan oleh para penerusnya dan ditambahkan bangunan seperti Masjid Agung, Sitihinggil, dan Pintu Srimanganti.
Pada masa pemerintahan Pakubuwono III, Mataram menghadapi perlawanan dari Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi.
Pergolakan di kerajaan kemudian resmi diakhiri melalui Perjanjian Giyanti yang ditandatangani pada 13 Februari 1755.
Dalam kesepakatan tersebut, Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua kekuasaan, yaitu Nagari Kasultanan Ngayogyakarta untuk Hamengku Buwono I dan Nagari Kasunanan Surakarta diserahkan kepada Pakubuwono III.
Sejak saat itu, Keraton Surakarta menjadi istana dari istana dari Kasunanan Surakarta.
Pembangunannya pun masih berlanjut hingga periode kekuasaan Pakubuwono X.
Baca juga: Peninggalan Kerajaan Mataram Islam
Kompleks Keraton Surakarta terbagi ke dalam beberapa area, di antaranya:
Di kompleks ini terdapat Gapura Gladag, Pamurakan, Alun-Alun Utara, dan Masjid Agung Surakarta, Bale Pewatangan, Bale Pekapalan, Gapura Bathangan, dan Gapura Klewer.
Pada kompleks ini terdapat gerbang masuk bernama Kori Brajanala atau Kori Gapit dan Bangsal Wisamarta.
Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Marakata di sebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur.
Di sisi barat daya Bangsal Marcukundha terdapat sebuah bangunan segi delapan yang disebut Menara Sanggabuwana.
Konon menara ini menjadi tempat bertemunya raja dengan Ratu Laut Selatan.
Fungsi utama menara setinggi 30 meter ini adalah tempat untuk memata-matai Belanda pada masa penjajahan.
Baca juga: Sejarah Masjid Agung Surakarta, Peninggalan Mataram Islam di Kota Solo
Kawasan Cagar Budaya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat memang terbuka untuk publik.