Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bukti Politik Balas Budi Bukan untuk Kepentingan Rakyat Indonesia

Politik balas budi dicetuskan oleh Conrad Theodor van Deventer dalam tulisannya, Een Eereschuld (Utang Kehormatan) pada 1899.

Politik balas budi disebut juga politik etis, yang berisi tiga cara untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.

Tiga cara untuk memperbaiki nasib rakyat dalam politik etis meliputi edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan), dan emigrasi (perpindahan penduduk).

Tiga program tersebut dikenal sebagai Trilogi van Deventer atau Trias van Deventer, yang mulai dijalankan pada 1901.

Apakah program politik balas budi untuk kepentingan rakyat Indonesia? Ternyata tidak.

Berikut ini bukti bahwa politik balas budi oleh Pemerintah Belanda bukan untuk kepentingan rakyat Indonesia.

Motif tersembunyi politik balas budi

Alasan Pemerintah Belanda menerapkan politik balas budi adalah untuk mengganti kerugian rakyat Indonesia atas eksploitasi yang dilakukan selama masa penjajahan.

Secara garis besar, politik etis memiliki tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Program edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan), dan emigrasi (perpindahan penduduk) memang berjalan dan membawa dampak positif bagi rakyat Indonesia.

Namun di sisi lain, tujuan politik etis tidak sepenuhnya terwujud karena banyak terjadi penyimpangan dalam pelaksanaannya yang semakin membuktikan bahwa program ini sejatinya didesain agar lebih menguntungkan Belanda.

Bukti bahwa politik balas budi oleh Pemerintah Belanda bukan untuk kepentingan rakyat Indonesia adalah adanya hidden colonialism (kolonialisme tersembuyi).

Dalam program pendidikan misalnya, terdapat diskriminasi antara golongan priayi atau anak pejabat dengan rakyat biasa.

Pada 1903, di Jawa dan Madura terdapat 245 sekolah kelas II negeri, 326 sekolah swasta, di antaranya 63 dari Zending.

Jumlah murid pada 1902 sebanyak 50.000 orang dan hanya ada 1.623 anak pribumi yang bersekolah di sekolah Eropa.

Meski dibangun sekolah, tetapi akses bangku sekolah lebih luas didapatkan oleh golongan lapisan atas daripada rakyat biasa.

Rakyat jelata hampir tidak ada kemungkinan untuk dapat memasukkan anaknya ke sekolah menengah atau sekolah tinggi karena mahalnya biaya.

Pada merencanakan program pendidikan, Pemerintah Belanda terbagi menjadi dua kelompok, yakni golongan yang pro-rakyat dan pro-elite.

Dalam pelaksanaannya, program pendidikan dijalankan oleh kelompok pro-elite, sehingga sasaran utamanya hanya kaum elite pribumi.

Hasilnya, anggaran yang disediakan pemerintah Belanda untuk membiayai pendidikan anak-anak Indonesia secara keseluruhan sangat kecil.

Bentuk politisasi dalam praktik pendidikan mengisyaratkan adanya tujuan besar yang implisit.

Pertama, pendidikan sebenarnya bertujuan agar tercipta lapisan elite yang cakap dan bisa bekerja sama untuk menekan ongkos-ongkos belanja Pemerintah Belanda.

Pasalnya, pekerja Eropa tentu tidak akan mau bekerja dengan gaji rendah.

Kedua, adanya sosialisasi kebudayaan Barat pada penduduk Indonesia atau internalisasi westernisasi.

Dengan pendidikan model Barat, diharapkan akan menciptakan kaum bumi putra yang berbudaya Barat, sehingga menyisihkan budaya lokal Indonesia dan semangat nasionalisme.

Dalam program irigasi, irigasi hanya dibangun di daerah-daerah di mana ada perkebunan swasta Belanda.

Saluran irigasi juga bukan digunakan untuk mengairi daerah persawahan rakyat, melainkan lebih dimaksudkan untuk mengairi daerah perkebunan, misalnya perkebunan tebu.

Jelas irigasi bukan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi diarahkan pada kepentingan ekonomi kolonial.

Selain itu, program migrasi ke luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan milik Belanda.

Rakyat ditempatkan di daerah-daerah perkebunan yang dikembangkan Belanda untuk dipekerjakan.

Pada akhirnya, mereka hanya dipindahkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja pada perkebunan Belanda.

Itulah mengapa politik balas budi bukan untuk kepentingan bangsa Indonesia, tetapi dijalankan untuk memenuhi kebutuhan Belanda.

Referensi:

  • Hutauruk, Ahmad Fakhri. (2020). Sejarah Indonesia: Masuknya Islam hingga Kolonialisme. Yogyakarta: yayasan Kita Menulis.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/01/10/170000479/bukti-politik-balas-budi-bukan-untuk-kepentingan-rakyat-indonesia

Terkini Lainnya

Abu Dujanah, Sahabat yang Membuat Nabi Muhammad Menangis

Abu Dujanah, Sahabat yang Membuat Nabi Muhammad Menangis

Stori
6 Peninggalan Kerajaan Ternate

6 Peninggalan Kerajaan Ternate

Stori
Alasan Umar bin Abdul Aziz Memerintahkan Pembukuan Hadis

Alasan Umar bin Abdul Aziz Memerintahkan Pembukuan Hadis

Stori
Pablo Picasso, Pelopor Karya Seni Rupa Kubisme

Pablo Picasso, Pelopor Karya Seni Rupa Kubisme

Stori
Perbedaan Presiden dan Pemimpin Tertinggi Iran

Perbedaan Presiden dan Pemimpin Tertinggi Iran

Stori
Sejarah Hari Kebangkitan Nasional

Sejarah Hari Kebangkitan Nasional

Stori
4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Tengah

4 Pahlawan Perempuan dari Jawa Tengah

Stori
Biografi Sitor Situmorang, Sastrawan Angkatan 45

Biografi Sitor Situmorang, Sastrawan Angkatan 45

Stori
Peran Sunan Ampel dalam Mengembangkan Islam di Indonesia

Peran Sunan Ampel dalam Mengembangkan Islam di Indonesia

Stori
Sejarah Pura Pucak Mangu di Kabupaten Badung

Sejarah Pura Pucak Mangu di Kabupaten Badung

Stori
Sejarah Penemuan Angka Romawi

Sejarah Penemuan Angka Romawi

Stori
7 Organisasi Persyarikatan Muhammadiyah

7 Organisasi Persyarikatan Muhammadiyah

Stori
Natipij, Organisasi Kepanduan Islam Era Hindia Belanda

Natipij, Organisasi Kepanduan Islam Era Hindia Belanda

Stori
7 Situs Sejarah di Kabupaten Kediri

7 Situs Sejarah di Kabupaten Kediri

Stori
Sejarah Semboyan Bhinneka Tunggal Ika

Sejarah Semboyan Bhinneka Tunggal Ika

Stori
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke