KOMPAS.com - Cuaca panas tahun 2023, menurut para ilmuwan terjadi akibat perubahan iklim.
Fenomena cuaca alami dan gelombang panas yang memanggang Asia, Eropa, dan Amerika Utara.
Hal ini dapat menjadikan tahun 2023 sebagai tahun terpanas sejak pencatatan suhu global dimulai.
Mereka juga memperingatkan rekor suhu ini akan semakin buruk bahkan jika manusia secara tajam mengurangi emisi gas yang menghangatkan planet.
Ahli pun menjelaskan bagaimana tahun bagaimana tahun 2023 menjadi sangat panas dan bagaimana itu saling berkaitan dengan faktor lainnya.
Baca juga: Apakah yang Menyebabkan Persebaran Hewan dari Asia ke Australia?
Dikutip dari Science Alert, Sabtu (22/7/2023) tahun ini fenomena pemanasan Pasifik yang dikenal sebagai El Nino telah kembali dan memanaskan lautan.
"Hal tersebut mungkin telah memberikan panas tambahan ke Atlantik Utara, meski karena peristiwa El Nino baru saja dimulai, kemungkinan ini hanya sebagian kecil dari efeknya," tulis Robert Rohde dari kelompok pemantau suhu AS Berkeley Earth dalam sebuah analisis.
Kelompok tersebut menghitung bahwa ada 81 persen kemungkinan bahwa 2023 akan menjadi tahun terhangat sejak pencatatan termometer dimulai pada pertengahan abad ke-19.
Fenomena El Nino bisa jadi dapat membuat Bumi lebih panas pada tahun 2024.
Baca juga: Apakah yang Membuat Kita Menjadi Manusia dan Bedanya dengan Primata?
Pemanasan Atlantik mungkin juga terjadi karena berkurangnya dua zat yang biasanya memantulkan sinar matahari dari lautan.
Dua zat itu adalah debu yang bertiup dari gurun Sahara dan aerosol belerang.
Analisis suhu Rohde di wilayah Atlantik Utara mencatat tingkat debu yang sangat rendah keluar dari Sahara dalam beberapa bulan terakhir.
Ini karena angin pertukaran Atlantik yang sangat lemah. Sementara itu pembatasan pelayaran pada tahun 2020 memangkas emisi belerang beracun.
"Itu tidak akan menjelaskan semua lonjakan suhu di Atlantik Utara sekarang, tetapi mungkin telah menambah tingkat keparahannya," kata Rohde.
Baca juga: Apakah yang Dimaksud dengan Jam Kiamat Itu?
Pemanasan lautan mempengaruhi pola cuaca daratan, memicu gelombang panas dan kekeringan di beberapa tempat dan badai di tempat lain.
Hal tersebut menurut Richard Allan, profesor ilmu ilim di University of Reading membuat atmosfer yang lebih panas menyedot kelembapan dan membuangnya ke tempat lain.
Para ilmuwna pun kemudian menyoroti panjang dan intensitas sistem antisiklon yang tersisa yang membawa gelombang panas.
"Di mana daerah bertekanan tinggi stagnan bertahan di atas benua, udara tenggelam dan menghangat, melelehkan awan, menyebabkan sinar matahari musim panas yang intens mengeringkan tanah, memanaskan tanah dan udara di atasnya," jelas Allan.
"Gelombang panas pun bisa bertahan selama berminggu-minggu," tambahnya.
Baca juga: Apakah yang Dimaksud Indeks Sinar UV Matahari?
Di Eropa, udara panas yang didorong masuk dari Afrika sekarang tetap bertahan.
Dengan kondisi tekanan tinggi yang menetap berarti bahwa panas di laut, darat, dan udara yang hangat terus meningkat.
Para ilmuwan di Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mengatakan dalam laporan ringkasan global mereka tahun ini bahwa perubahan iklim telah membuat gelombang panas yang mematikan lebih sering dan lebih intens di sebagian besar wilayah daratan sejak 1950-an.
Gelombang panas itu bukan satu fenomena tunggal tetapi semuanya diperkuat oleh satu faktor yaitu perubahan iklim.
Baca juga: Apakah Ledakan Kambrium Benar-benar Terjadi?
Perubahan iklim merupakan salah satu variabel yang dapat dipengaruhi oleh manusia dengan mengurangi emisi dari bahan bakar fosil.
"Kami memiliki kemampuan untuk mengurangi pengaruh manusia terhadap iklim dan cuaca dan tidak menciptakan gelombang panas yang lebih ekstrim," papar Melissa Lazenby, dosen senior perubahan iklim di University of Sussex.
IPCC mengatakan risiko gelombang panas semakin sering dan intens, meskipun pemerintah dapat membatasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca negara.
"Pengurangan emisi karbon yang dalam, cepat, dan berkelanjutan dapat menghentikan pemanasan, tetapi umat manusia harus beradaptasi dengan gelombang panas yang lebih parah di masa depan karena ini baru permulaan," papar Simon Lewis, ketua ilmu perubahan global di University College London.
Baca juga: Apakah Uranium Berbahaya bagi Manusia jika Terpapar Radiasinya?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.