Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Menghijaukan Gambut dengan Kayu Putih

Kompas.com - 27/05/2023, 17:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Ahmad Junaedi dan Hery Kurniawan

Gambut untuk kehidupan

Jika air adalah hal paling pokok yang dibutuhkan makhluk hidup, Sang Maha Pencipta telah menyediakannya dengan jumlah memadai di lahan gambut.

Baca juga: Potensi Superfood di Lahan Gambut

Karenanya, gambut adalah tempat yang cocok bagi begitu banyak makhluk hidup. Sebagai gambaran, Heriyanto dkk (2020) menyebutkan tidak kurang 40 jenis pohon ditemukan di hutan rawa gambut Bukit Batu, Bengkalis, Riau.

Ditambahkan Rieley (2016) melaporkan bahwa hutan rawa gambut Asia Tenggara adalah rumah bagi setidaknya 1,524 tumbuhan, 123 mamalia, 268 burung, 219 ikan rawa dan begitu banyak jenis invertebrata, paku-pakuan dan jamur-jamuran.

Rumah ini akan tetap nyaman bagi kehidupan, ketika dijaga dan dipelihara.

Ketika gambut dirusak

Kita adalah saksi sejarah ketika kabut asap beberapa tahun yang lalu buah dari terbakarnya lahan gambut telah melumpuhkan dan merugikan berbagai sektor kehidupan.

Dilaporkan akibat kebakaran 2015 saja, negara harus menanggung estimasi kerugian ekonomi sebesar 16 miliar USD (Edwards dkk, 2020).

Tidak hanya itu, insiden kebakaran gambut ini pun melepaskan karbon yang dapat mengusik stabilitas iklim sebanyak 0.002 giga ton (Setyawati & Suwarsono, 2018).

Sulit rasanya untuk mengelak dari dugaan bahwa kejadian kabut asap salah satunya berkaitan dengan praktik pengeringan gambut melalui pembuatan kanal (drainase).

Sebuah praktik yang seakan merupakan tuntutan ketika gambut dimanfaatkan untuk tujuan produksi, seperti untuk HTI dan perkebunan sawit.

Baca juga: Kerbau Rawa: Keajaiban Ekosistem Gambut dan Plasma Nutfah Indonesia

Benar bahwa pembuatan memberi kemudahan dalam budidaya, tetapi pada sisi lain praktik ini dapat menjadi salah satu pemicu kerusakan gambut yang berujung bencana.

Ketika gambut dikeringkan, sifat alaminya yang basah telah diusik, menjadi mudah terbakar di musim kemarau dan rentan banjir di musim hujan.

Di antara yang tersisa dari kebakaran gambut adalah semakin bertambahnya lahan-lahan terdegradasi. Jenis lahan yang telah banyak kehilangan produktivitasnya dan ketika akan dipulihkan banyak kendala yang harus dihadapi.

Akibatnya, jika akan dipulihkan memerlukan input teknologi tertentu.

Adanya lahan terdegradasi ini telah menyebabkan semakin meningkatnya kehilangan hutan rawa gambut asli (pristine peat swamp forest) Indonesia, yang mana sebuah laporan penelitian menunjukkan hasil yang mencengangkan karena hutan rawa gambut asli di Sumatera dan Kalimantan hanya tersisa 4 persen (Miettinen & Liew, 2010).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com