Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menghijaukan Gambut dengan Kayu Putih

Oleh: Ahmad Junaedi dan Hery Kurniawan

Gambut untuk kehidupan

Jika air adalah hal paling pokok yang dibutuhkan makhluk hidup, Sang Maha Pencipta telah menyediakannya dengan jumlah memadai di lahan gambut.

Karenanya, gambut adalah tempat yang cocok bagi begitu banyak makhluk hidup. Sebagai gambaran, Heriyanto dkk (2020) menyebutkan tidak kurang 40 jenis pohon ditemukan di hutan rawa gambut Bukit Batu, Bengkalis, Riau.

Ditambahkan Rieley (2016) melaporkan bahwa hutan rawa gambut Asia Tenggara adalah rumah bagi setidaknya 1,524 tumbuhan, 123 mamalia, 268 burung, 219 ikan rawa dan begitu banyak jenis invertebrata, paku-pakuan dan jamur-jamuran.

Rumah ini akan tetap nyaman bagi kehidupan, ketika dijaga dan dipelihara.

Ketika gambut dirusak

Kita adalah saksi sejarah ketika kabut asap beberapa tahun yang lalu buah dari terbakarnya lahan gambut telah melumpuhkan dan merugikan berbagai sektor kehidupan.

Dilaporkan akibat kebakaran 2015 saja, negara harus menanggung estimasi kerugian ekonomi sebesar 16 miliar USD (Edwards dkk, 2020).

Tidak hanya itu, insiden kebakaran gambut ini pun melepaskan karbon yang dapat mengusik stabilitas iklim sebanyak 0.002 giga ton (Setyawati & Suwarsono, 2018).

Sulit rasanya untuk mengelak dari dugaan bahwa kejadian kabut asap salah satunya berkaitan dengan praktik pengeringan gambut melalui pembuatan kanal (drainase).

Sebuah praktik yang seakan merupakan tuntutan ketika gambut dimanfaatkan untuk tujuan produksi, seperti untuk HTI dan perkebunan sawit.

Benar bahwa pembuatan memberi kemudahan dalam budidaya, tetapi pada sisi lain praktik ini dapat menjadi salah satu pemicu kerusakan gambut yang berujung bencana.

Ketika gambut dikeringkan, sifat alaminya yang basah telah diusik, menjadi mudah terbakar di musim kemarau dan rentan banjir di musim hujan.

Di antara yang tersisa dari kebakaran gambut adalah semakin bertambahnya lahan-lahan terdegradasi. Jenis lahan yang telah banyak kehilangan produktivitasnya dan ketika akan dipulihkan banyak kendala yang harus dihadapi.

Akibatnya, jika akan dipulihkan memerlukan input teknologi tertentu.

Adanya lahan terdegradasi ini telah menyebabkan semakin meningkatnya kehilangan hutan rawa gambut asli (pristine peat swamp forest) Indonesia, yang mana sebuah laporan penelitian menunjukkan hasil yang mencengangkan karena hutan rawa gambut asli di Sumatera dan Kalimantan hanya tersisa 4 persen (Miettinen & Liew, 2010).

Memperbaiki gambut

Sadar akan peran penting gambut bagi kehidupan dan paham akan kondisinya yang telah rusak, menyebabkan setiap upaya untuk memperbaikinya hendaknya konsisten dilakukan.

Pemerintah telah mengambil peran ini, antara lain dengan memperbaharui ketentuan budidaya di lahan gambut yakni hanya diizinkan pada muka air di atas 40 cm dan dibentuknya lembaga khusus menangani restorasi gambut bernama Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).

Dalam aktivitasnya, BRGM mengusung strategi yang secara luas dikenal dengan sebutan 3R (rewetting/pembahasan kembali gambut, revegetation/penanaman, dan revitalization/peningkatan kesejahteraan masyarakat).

Salah satu pesan penting dari strategi ini adalah mengenai keterlibatan masyarakat sebagai subjek dalam merehabilitasi ekosistem gambut dan objek yang harus ditingkatkan taraf hidupnya.

Untuk itu, merestorasi gambut bukan hanya sekedar mengembalikan produktivitas ekologinya, tetapi juga bagaimana masyarakat lokal yang ada di sekitarnya bisa menikmati langsung nilai ekonomi yang ada di dalamnya.

Hal ini antara lain bisa dicapai dengan memilih jenis dan pola budidaya tanaman yang tepat, yakni hendak lah dipilih jenis yang bersahabat secara ekologi dan produktif secara ekonomi.

Di antara jenis yang besar peluangnya untuk dipilih adalah jenis penghasil minyak atsiri, seperti pohon kayu putih yang dipanen daunnya untuk kemudian disuling dan diambil minyaknya.

Khasiat minyak kayu putih sudah dikenal luas di Indonesia. Wanginya yang harum dan khas ketika dihirup, serta efek hangatnya yang terasa nyaman ketika diusapkan ke tubuh menyebabkan minyak yang satu ini banyak digunakan secara luas oleh keluarga Indonesia.

Dikenal sebagai pencegah/sekaligus obat masuk angin, sakit perut, flu dll. Minyak ini pun semakin dikenal dan diperlukan saat Covid-19 melanda, karena dipercayai selain bisa melegakan pernafasan, juga bisa mencegah efek buruk gejala Covid-19.

Kepercayaan ini pun ternyata dikonfirmasi oleh hasil penelitian My dkk (2020) yang menunjukkan peran penting kayu putih dalam mencegah serangan SARS-CoV-2 terhadap ketahanan tubuh.

Walaupun mempunyai manfaat dan penggunaan yang nyata, tetapi ternyata kebutuhannya belum sepenuhnya disediakan di dalam negeri.

Rimbawanto dkk (2021) melaporkan bahwa dari kebutuhan kayu putih per tahun sekitar 3,500 ton, yang baru bisa disediakan dari produksi dalam negeri hanya sekitar 600 – 650 ton/tahun. Artinya masih ada gap sekitar 2,850 ton/tahun yang dipenuhi dari impor.

Hal ini terutama karena kayu putih relatif belum secara luas dibudidayakan. Padahal, ada lahan gambut terdegradasi yang menanti untuk ditanami (direhabilitasi). Misalnya di Riau yang mencapai luas lebih dari 1 juta ha.

Mengembangkan kayu putih dengan hasil yang memuaskan di lahan gambut, bukan hal yang mustahil.

Kendatipun kayu putih bukan jenis lokal (native species) gambut, tetapi dilaporkan Brophy & Doran (1996) dapat tumbuh alami di lahan rawa (tergenang), sehingga berpeluang ditanam pada lahan gambut terdegradasi yang mengalami penggenangan kembali (rewetting).

Hal ini pun dibuktikan oleh hasil studi awal tim peneliti Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan yang telah menanam kayu putih pada lahan gambut yang tergenang temporal di Desa Karya Indah, Tapung, Kabupaten Kampar, Riau seluas 5 ha.

Di lokasi ini, kayu putih mampu hidup dan tumbuh dengan baik .

Dalam pengembangannya, untuk meningkatkan nilai ekologi, kayu putih bisa ditanam secara campuran dengan jenis-jenis asli lahan gambut seperti ramin, geronggang, gelam, balangeran dll.

Kemudian, kendatipun jenis ini relatif cepat menghasilkan karena pada umur tunas 7 bulan sudah bisa dipanen daunnya (Utomo dkk, 2012), tetapi untuk meningkatkan diversifikasi panenan bisa juga ditanam dalam pola agroforestry (Juliarti dkk, 2022).

Jikapun akan ditanam secara monokultur dan murni untuk tujuan produksi, pengembangan kayu putih memiliki nilai plus.

Karena hanya bagian daunnya yang dipanen maka pemanenan kayu putih tidak perlu menumbang (membunuh) tanamannya, sehingga gangguan terhadap eksositem lahan gambut yang sudah terbentuk akan lebih minimal.

Hal ini berbeda jika yang dikembangkan adalah jenis penghasil kayu pulp atau pertukangan yang pada saat panen ditumbang dan menyebabkan lantai hutan tersingkap, sehingga bisa berdampak negatif terhadap ekosistem gambut.

Ahmad Junaedi dan Hery Kurniawan
Peneliti Ahli Madya, Pusat Riset Ekologi & Etnobiologi - BRIN

https://www.kompas.com/sains/read/2023/05/27/170000923/menghijaukan-gambut-dengan-kayu-putih

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke