Sistem personalistik melihat penyakit terjadi karena kekuatan supranatural (hantu, roh jahat, santet). Sedangkan sistem naturalistik melihat penyakit disebabkan oleh ketidakseimbangan tubuh terhadap lingkungan alamiah dan sosialnya.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat non-Barat yang sebagian besar tidak memiliki kerangka berfikir kognitif guna menjelaskan suatu penyakit.
Contohnya, kita tidak memiliki kosakata kedokteran ilmiah Barat dan cenderung memberi nama penyakit sesuai dengan kebudayaannya. Istilah “masuk angin”, misalnya, cuma dikenal di Indonesia.
Masyarakat yang berobat ke Ida Dayak, sebagian besar adalah masyarakat personalistik yang mempercayai penyakit lebih disebabkan oleh intervensi dari suatu agen aktif.
Agen tersebut bisa dianggap makhluk supranatural, makhluk bukan manusia (hantu, roh jahat), maupun manusia yang memiliki kemampuan gaib (tukang santet).
Dalam kasus pengobatan minyak bintang, tidak semua pasien mempercayai penyakitnya berasal dari hal gaib. Namun, mereka tetap percaya ada sesuatu kekuatan tertentu di luar rasionalitas yang bisa mempercepat proses penyembuhannya.
Kondisi tersebut membuat pengobatan personalistik minyak bintang lebih dianggap rasional daripada pengobatan medis modern.
Sebab, pengobatan modern membatasi kerangka berfikir kondisi sakit atau penyakit yang hanya bisa disembuhkan dengan menggunakan zat-zat atau obat yang telah lulus uji klinis.
Baca juga: Bijaksana Memilih Pengobatan Alternatif untuk Kanker
Umumnya masyarakat perkotaan lebih mempercayai pengobatan medis naturalistik dibandingkan personalistik. Dalam kasus Ida Dayak, masyarakat bisa percaya karena telah “putus asa” menanti kesembuhan bertahun-tahun dengan rutin berobat medis tanpa adanya hasil.
Hal ini membuat masyarakat melirik pilihan pengobatan alternatif.
Ada dua tingkatan komunikasi: komunikasi konteks tinggi dan rendah.
Komunikasi konteks tinggi berfokus pada makna, nada yang mendasari pesan dan bukan hanya kata-kata itu sendiri. Sedangkan komunikasi konteks rendah menunjukkan pesan komunikasi disampaikan secara eksplisit (langsung) sehingga tidak ada risiko kebingungan.
Komunikasi konteks tinggi membuat makna pesan tertanam jauh di dalam informasi, sehingga tidak semuanya dinyatakan secara eksplisit ketika diucapkan.
Dalam budaya komunikasi konteks tinggi, pendengar diharapkan mampu membaca pesan ‘tersirat", untuk memahami makna yang tak terucapkan.
Mudahnya, ada banyak orang Indonesia lebih suka berkomunikasi dengan cara berbasa-basi dan menyentuh empati dibandingkan menyampaikan pesan secara langsung.