Antropolog Amerika Edward T. Hall menyebut kondisi ini dengan menempatkan budaya dalam rangkaian yang panjang.
Baca juga: 5 Tumbuhan Endemik Hutan Amazon, Banyak yang Jadi Obat Tradisional
Komunikasi konteks tinggi lebih banyak dipraktikan oleh masyarakat Asia, termasuk Indonesia.
Gaya komunikasi Ida Dayak yang cenderung menyentuh empati pasien menyebut basmallah dan doa-doa yang menyejukkan ketika “mengobati pasien”, adalah bentuk terbaik komunikasi konteks tinggi.
Selain itu, Ida Dayak tidak terlalu berfokus pada ongkos pengobatan. Hal ini tentu menaikkan kredibilitas Ida Dayak di mata pasiennya sebagai manusia yang diberkahi Tuhan tanpa mengharapkan imbalan.
Kondisi ini tentu berbeda dengan pengobatan medis modern, terutama dokter yang lebih banyak menekankan gaya komunikasi konteks rendah kepada pasiennya. Gaya komunikasi konteks rendah memungkinkan pesan di dalamnya bersifat eksplisit (langsung), logis, dan berdasarkan bukti.
Sebagai contoh pasien patah tulang akan diberikan informasi secara jelas oleh dokter dengan penanganan yang bervariasi seperti dipasang gips atau bahkan dioperasi bedah.
Informasi yang disampaikan biasanya disertai dengan penjelasan kemungkinan risiko penyembuhan yang sulit serta lama.
Tidak ada yang salah dari informasi pesan yang dikandungnya. Namun, hal ini akan berdampak buruk jika disampaikan secara langsung tanpa memperhatikan empati pasien, terutama atlet, anak muda dan pekerja fisik lainnya.
Baca juga: Ahli: Konsep Sistem Pengobatan Tradisional Bukan Cuma tentang Obat Herbal
Hal ini akan semakin rumit apabila pasien adalah masyarakat miskin yang membutuhkan usaha lebih untuk menyembuhkan penyakitnya.
Para pemangku kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan tenaga kesehatan masih menerapkan komunikasi konteks rendah yang kurang berempati terhadap masyarakat kita.
Seperti mempertanyakan apa sulitnya mengakses program JKN yang diklaim mampu diakses oleh setiap lini masyarakat. Pernyataan-pernyataan mereka bahkan terkesan menyindir masyarakat yang suka mengarang cerita untuk bisa mendapatkan layanan kesehatan.
Gaya komunikasi seperti ini tidak cocok diterapkan dalam budaya masyarakat Indonesia yang lebih membutuhkan empati ketika bertukar pesan. Terlebih lagi, masih banyak masyarakat kita yang terbukti belum mendapatkan layanan JKN.
Tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan kebanyakan “praktisi” pengobatan tradisional yang masih menjunjung tinggi rasa empati kepada kondisi pasien.
Saat ini program JKN memang jauh lebih baik, dengan penerapan sistem online dan aplikasi untuk mempermudah akses masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan.
Namun, patut diingat bahwa masyarakat kita masih ada yang belum memahami prosedur mendapatkan pelayanan program JKN. Alasan utamanya adalah prosedur yang rumit dan sulit dipahami masyarakat.