Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Mengintip Ekosistem Pengelolaan dan Anggaran Riset Kelautan

Kompas.com - 07/12/2022, 16:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Hal ini dapat dimengerti karena alokasi FHL disesuaikan dengan total proposal yang masuk dan didanai pada tahun berjalan, sehingga nominal rupiah setiap tahun bisa berbeda. Sayang sekali, ketiadaan informasi menjadikan skema FHL tidak cukup transparan untuk dilihat dan digunakan untuk menakar prioritas riset kelautan di BRIN.

Berdasarkan kondisi sekarang ini, boleh dibilang bahwa jika dilihat dari porsi anggaran riset kelautan, maka riset kelautan belum mendapat prioritas yang cukup di BRIN. Kiranya miniatur pengelolaan riset kelautan di BRIN cukup menjadi indikator pengelolaan riset kelautan di Indonesia.

“Berlayar di tengah laut yang tak bersahabat”

Kerjasama riset dengan mitra dari dalam dan luar negeri barangkali menjadi salah satu solusi dalam kondisi keterbatasan anggaran riset kelautan. Hal ini sudah sering sekali disampaikan oleh banyak kalangan, pun para periset juga telah paham dan menyadari.

Baca juga: Kisah Robert Ballard, Ahli Kelautan yang Menemukan Titanic

Namun salah satu yang cukup krusial untuk mendorong peningkatan kerjasama riset (apalagi kerjasama riset internasional) adalah keselarasan ekosistem riset yang dibangun (i.e., prosedur kerjasama, pengelolaan anggaran, independensi riset, dlsb).

Jika ekosistem riset tidak selaras dan bahkan cenderung membatasi independensi riset, maka bisa dipastikan animo kerjasama riset tak ubahnya seperti jauh panggang dari api.

Menurut saya, idealnya kerjasama riset secara substansi dan operasional menjadi ranah Organisasi Riset beserta Pusat Riset sebagai satuan dan unit pelaksana riset. Namun beberapa prakteknya tidak sesuai kondisi ini.

Sebagai contoh adalah pengelolaan kerjasama riset kelautan dengan pihak luar negeri menggunakan sarana kapal riset. Kebijakan saat ini, kerjasama riset dengan penggunaan kapal riset justru melalui Kedeputian Infrastruktur Riset dan Inovasi (IRI).

Dalam prakteknya, kebijakan ini menjadikan substansi riset tidak cukup independen berbasis alasan ilmiah. Meskipun pengelolaan kapal riset berada di IRI (dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Armada Kapal Riset/PAKR), seharusnya jika yang dilayani adalah skema kerjasama, maka PAKR dan IRI tidak perlu mengatur substansi riset seperti jumlah periset yang terlibat, kebutuhan dana riset, dan lokasi sampling.

Karena masalah substansi tersebut biasanya sudah menjadi kesepakatan antara satuan/unit kerja pelaksana riset dan mitra luar negeri. Fungsi IRI dan PAKR yang merupakan fungsi fasilitasi sebaiknya tetap dalam koridor fungsinya. Jika hal ini diabaikan, maka bisa menyebabkan kelesuan ekosistem kerjasama riset dengan memanfaatkan sarana prasarana riset BRIN.

Perbaikan pengelolaan rumah program (RP) kiranya juga perlu mendapat perhatian terutama terkait dengan fleksibilitas anggaran. Riset kelautan memiliki metodologi yang beragam mulai dari observasi lapangan, survei ke masyarakat sampai percobaan dan analisis di laboratorium.

Baca juga: BRIN sebagai Ruang Kolektif Riset dan Inovasi Indonesia

Oleh karenanya, fleksibilitas dalam alokasi anggaran sangat diperlukan. Dalam kondisi riil, ada riset yang memerlukan anggaran perjalanan observasi lapangan lebih besar daripada kebutuhan laboratorium, dan sebaliknya ada riset yang memerlukan anggaran laboratorium yang lebih besar daripada porsi lainnya.

Kebijakan yang ada saat ini adalah membatasi semua perjalanan lapangan terkait riset yang berlaku hampir di semua skema rumah program (RP). Misalnya di OR Kebumian dan Maritim yang mengelola RP kelautan (Blue Carbon dan Akuakultur) saat ini (skema tahun 2023 yang akan datang) membatasi anggaran perjalanan lapangan maksimal 30 persen dari total anggaran yang diajukan.

Jika melihat rentang metodologi riset kelautan yang beragam, seharusnya tidak perlu ada pembatasan alokasi perjalanan lapangan.

Indikator evaluasi kegiatan riset sudah cukup jelas. Misalnya dua RP tersebut ditargetkan menghasilkan 8 purwarupa, 4 produk biologi, dan 150 publikasi internasional. Asalkan target luaran terpenuhi dan pertanggungjawaban belanja keuangan telah sesuai, maka batasan alokasi perjalanan lapangan seharusnya tidak perlu.

Jika menilik pada skala mikro pendanaan dan pengelolaan riset kelautan di atas, maka bisa dikatakan bahwa platform Ekonomi Biru (Blue Economy) – yang digadang-gadang pada Research and Innovation Informal Gathering (RIIG) G20 beberapa waktu lalu – masih berada pada tahap inisiasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com