Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengintip Ekosistem Pengelolaan dan Anggaran Riset Kelautan

Oleh: Dr. A’an Johan Wahyudi*

Saya tergelitik dengan salah satu bagan pada laporan UNESCO (Global Ocean Sicience Report 2020) yang menyebutkan bahwa publikasi ilmiah internasional bidang kelautan yang dihasilkan Indonesia hanya kurang dari10 publikasi per sejuta penduduk.

Jumlah ini merupakan bagian dari klaster terbawah negara-negara di dunia. Negara tetangga Singapura dan Malaysia jelas lebih baik dengan angka lebih dari 50 publikasi per sejuta penduduk.

Masih pada laporan UNESCO tersebut, saya mencoba mengaitkan dengan proporsi anggaran riset kelautan setiap negara. Sayang sekali, justru nama Indonesia tidak masuk dalam jajaran negara-negara yang secara serius mengalokasikan dana riset untuk sektor kelautan.

Pada laporan tersebut disebutkan bahwa untuk negara-negara yang cukup serius terhadap riset kelautan, alokasi anggaran riset kelautan berada pada rata-rata 1,7 persen dari total Gross Domestic Expenditure on Research and Development (GERD).

Negara yang boleh dikata serius terhadap riset kelautan namun persentase dana riset kelautan terhadap GERD tergolong rendah adalah Turki, sebesar 0.03 persen.

Bagaimana dengan Indonesia? Karena tidak muncul dalam laporan, maka bisa dikatakan Indonesia belum cukup serius untuk melakukan riset kelautan.

Jadi wajar kiranya jika jumlah publikasi internasional bidang kelautan bangsa Indonesia masih sangat rendah.

Mengukur prioritas riset kelautan dari postur anggaran

Mengukur seberapa besar prioritas riset kelautan bagi peneliti laut seperti saya cukup sederhana. Barometer yang mudah diamati adalah skala mikro, misalnya dengan melihat postur anggaran di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Apalagi sejak berdirinya, BRIN digadang-gadang akan menggunakan platform riset Digital, Green and Blue Economy. Jika memang benar Ekonomi Biru (Blue Economy) menjadi salah satu platform program riset di BRIN, maka layak kiranya melihat proporsi anggaran riset kelautan di BRIN.

Saat ini diketahui bahwa total anggaran riset di BRIN adalah 461 miliar yang terbagi ke dalam skema kolaborasi rumah program (RP) di Organisasi Riset (OR) sebesar 272 miliar dan skema kompetisi terbuka di Kedeputian Fasilitasi Riset dan Inovasi (FRI) sebesar 189 miliar.

Dari keseluruhan anggaran tersebut, alokasi resmi (skema RP) untuk riset kelautan di BRIN diperkirakan sangat kecil. Sampai artikel ini ditulis, baru ada dua skema RP di OR Kebumian dan Maritim yang dialokasikan untuk riset kelautan pda tahun 2023 yang akan datang, yaitu RP Blue Carbon dan RP Akuakultur.

Belum ada keterangan resmi berapa alokasi rupiah untuk kedua RP ini, namun jika dilihat dari target luaran (output) sebanyak 150 publikasi ilmiah internasional, kita bisa perkirakan total alokasi anggaran untuk kedua RP adalah 15 miliar (catatan: diasumsikan 1 publikasi ilmiah internasional setara dengan ~100 juta rupiah dana riset, sesuai dengan catatan Call for Proposal kedua RP).

Dengan demikian, alokasi dana riset kelautan untuk kedua RP hanya 3 persen dari keseluruhan anggaran riset BRIN.

Alokasi lain yang cukup relevan adalah skema Fasilitasi Hari Layar (FHL) yang ada di Kedeputian FRI. Namun, selain nominal 189 miliar anggaran total di Kedeputian FRI, tidak ada keterangan resmi berapa total alokasi untuk FHL.

Hal ini dapat dimengerti karena alokasi FHL disesuaikan dengan total proposal yang masuk dan didanai pada tahun berjalan, sehingga nominal rupiah setiap tahun bisa berbeda. Sayang sekali, ketiadaan informasi menjadikan skema FHL tidak cukup transparan untuk dilihat dan digunakan untuk menakar prioritas riset kelautan di BRIN.

Berdasarkan kondisi sekarang ini, boleh dibilang bahwa jika dilihat dari porsi anggaran riset kelautan, maka riset kelautan belum mendapat prioritas yang cukup di BRIN. Kiranya miniatur pengelolaan riset kelautan di BRIN cukup menjadi indikator pengelolaan riset kelautan di Indonesia.

“Berlayar di tengah laut yang tak bersahabat”

Kerjasama riset dengan mitra dari dalam dan luar negeri barangkali menjadi salah satu solusi dalam kondisi keterbatasan anggaran riset kelautan. Hal ini sudah sering sekali disampaikan oleh banyak kalangan, pun para periset juga telah paham dan menyadari.

Namun salah satu yang cukup krusial untuk mendorong peningkatan kerjasama riset (apalagi kerjasama riset internasional) adalah keselarasan ekosistem riset yang dibangun (i.e., prosedur kerjasama, pengelolaan anggaran, independensi riset, dlsb).

Jika ekosistem riset tidak selaras dan bahkan cenderung membatasi independensi riset, maka bisa dipastikan animo kerjasama riset tak ubahnya seperti jauh panggang dari api.

Menurut saya, idealnya kerjasama riset secara substansi dan operasional menjadi ranah Organisasi Riset beserta Pusat Riset sebagai satuan dan unit pelaksana riset. Namun beberapa prakteknya tidak sesuai kondisi ini.

Sebagai contoh adalah pengelolaan kerjasama riset kelautan dengan pihak luar negeri menggunakan sarana kapal riset. Kebijakan saat ini, kerjasama riset dengan penggunaan kapal riset justru melalui Kedeputian Infrastruktur Riset dan Inovasi (IRI).

Dalam prakteknya, kebijakan ini menjadikan substansi riset tidak cukup independen berbasis alasan ilmiah. Meskipun pengelolaan kapal riset berada di IRI (dalam hal ini Direktorat Pengelolaan Armada Kapal Riset/PAKR), seharusnya jika yang dilayani adalah skema kerjasama, maka PAKR dan IRI tidak perlu mengatur substansi riset seperti jumlah periset yang terlibat, kebutuhan dana riset, dan lokasi sampling.

Karena masalah substansi tersebut biasanya sudah menjadi kesepakatan antara satuan/unit kerja pelaksana riset dan mitra luar negeri. Fungsi IRI dan PAKR yang merupakan fungsi fasilitasi sebaiknya tetap dalam koridor fungsinya. Jika hal ini diabaikan, maka bisa menyebabkan kelesuan ekosistem kerjasama riset dengan memanfaatkan sarana prasarana riset BRIN.

Perbaikan pengelolaan rumah program (RP) kiranya juga perlu mendapat perhatian terutama terkait dengan fleksibilitas anggaran. Riset kelautan memiliki metodologi yang beragam mulai dari observasi lapangan, survei ke masyarakat sampai percobaan dan analisis di laboratorium.

Oleh karenanya, fleksibilitas dalam alokasi anggaran sangat diperlukan. Dalam kondisi riil, ada riset yang memerlukan anggaran perjalanan observasi lapangan lebih besar daripada kebutuhan laboratorium, dan sebaliknya ada riset yang memerlukan anggaran laboratorium yang lebih besar daripada porsi lainnya.

Kebijakan yang ada saat ini adalah membatasi semua perjalanan lapangan terkait riset yang berlaku hampir di semua skema rumah program (RP). Misalnya di OR Kebumian dan Maritim yang mengelola RP kelautan (Blue Carbon dan Akuakultur) saat ini (skema tahun 2023 yang akan datang) membatasi anggaran perjalanan lapangan maksimal 30 persen dari total anggaran yang diajukan.

Jika melihat rentang metodologi riset kelautan yang beragam, seharusnya tidak perlu ada pembatasan alokasi perjalanan lapangan.

Indikator evaluasi kegiatan riset sudah cukup jelas. Misalnya dua RP tersebut ditargetkan menghasilkan 8 purwarupa, 4 produk biologi, dan 150 publikasi internasional. Asalkan target luaran terpenuhi dan pertanggungjawaban belanja keuangan telah sesuai, maka batasan alokasi perjalanan lapangan seharusnya tidak perlu.

Jika menilik pada skala mikro pendanaan dan pengelolaan riset kelautan di atas, maka bisa dikatakan bahwa platform Ekonomi Biru (Blue Economy) – yang digadang-gadang pada Research and Innovation Informal Gathering (RIIG) G20 beberapa waktu lalu – masih berada pada tahap inisiasi.

Dua tahun sebelum ini, laporan Asian Development Bank (ADB) menyebutkan bahwa memang pendanaan untuk meningkatkan performa ekonomi biru di Asia Tenggara masih dalam tahap awal.

Riset dan inovasi di bidang kelautan dan maritim sebagai salah satu pilar platform ekonomi biru perlu mendapat perhatian serius dengan senantiasa mengutamakan perbaikan pengelolaannya.

Kiranya pengambil keputusan dan pemangku kebijakan harus mampu membuka diri terhadap masukan, agar visi ekonomi biru dapat terinternalisasi pada semua elemen terkait. “High trust society” diawali dari internalisasi visi lembaga pada semua elemen, namun “high trust society” dapat terwujud bila keterbukaan pada masukan dan kritik menjadi budaya.

Fukuyama (1995) menyebutkan bahwa "negara yang memiliki tingkat rasa saling percaya yang tinggi (high trust society) memiliki modal sosial yang tinggi untuk lebih mampu menjadi bangsa yang maju. Pun sebaliknya, jika masyarakatnya memiliki rasa saling percaya yang rendah (low trust society) atau bahkan distrust society, maka potensi negara tersebut untuk maju akan menjadi sulit."

Sumber informasi:

  • Asian Development Bank (2021). Financing the OCean Back to Health in Southeast Asia - Approaches for Mainstreaming Blue Economy
  • BRIN (2022). Anggaran riset BRIN. https://www.brin.go.id/news/99383/ini-penjelasan-kepala-brin-tentang-anggaran-riset-sebesar-272-milyar
  • Fukuyama, F. (1995). Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: Free Press, xv., 457 pages
  • UNESCO (2020) Global Ocean Science Report 2020. The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization

Dr. A’an Johan Wahyudi

Peneliti Ahli Madya bidang Biogeokimia Laut, Pusat Penelitian Oseanografi, Badan Riset dan Inovasi Nasional

https://www.kompas.com/sains/read/2022/12/07/160000123/mengintip-ekosistem-pengelolaan-dan-anggaran-riset-kelautan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke