Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yunanto Wiji Utomo
Penulis Sains

Science writer. Manager of Visual Interaktif Kompas (VIK). Chevening Scholar and Co-Founder of Society of Indonesian Science Journalists (SISJ).

LGBT Harus Berhenti Percaya Informasi Salah dan Sains yang Usang

Kompas.com - 20/11/2022, 11:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Homoseksualitas bukan sesuatu yang harus membuat seseorang malu, tidak bisa dikatakan sebagai penyakit mental, dan merupakan variasi seksualitas.

Robert Spitzer, ilmuwan yang pernah mengklaim bisa “menyembuhkan” homoseksual telah meminta maaf dan mengakui, bahwa metode riset serta datanya bermasalah pada 2012.

American Psychoanalytic Association (APsaA) juga telah meminta maaf mengatakan LGBT adalah penyakit mental pada 2019.

Sejumlah riset yang Kompas.com cermati berupaya menemukan cara–dengan pendekatan komunikasi, agama, pendidikan–untuk mengubah orientasi seksual. Para pakar harus berani menggeledah dasar teori riset-riset tersebut dan menggugatnya bila perlu.

Narasi informasi salah lain yang bersumber dari riset Zietsch dan Ganna adalah "jika pengaruh gen tidak dominan maka menjadi gay adalah pilihan." Seperti diungkapkan Bailey dalam publikasinya, pertanyaan dan pernyataan bahwa orientasi seksual "pilihan" itu "flawed".

Apakah kita betul-betul bisa membuat pilihan tanpa sebab? Apakah betul kita membuat keputusan tentang orientasi seksual kita? Bailey mengatakan, orientasi seksual adalah bagian dari hasrat seksual kita dan untuk itu kita tidak memilihnya.

Agar tidak terjebak pada informasi salah, LGBT dan mereka yang bergerak pada isu tersebut harus lebih engage (terlibat) dalam dunia ilmu pengetahuan, termasuk genetika, neurosains, dan bidang lain yang mengeksplorasi seksualitas dari sisi sains. Paling tidak dengan membacanya.

Mengapa? Sains mempunyai sejarah “pathologizing” alias melabeli golongan tertentu sebagai "orang sakit" tanpa dasar yang kuat dan bias.

Penggolongan itu bukan hanya terhadap LGBT, melainkan juga orang berkulit hitam, orang yang bermasturbasi, dan lainnya.

Keterlibatan LGBT dengan ilmu pengetahuan bisa mereduksi bias dalam sains. Pada saat yang sama, LGBT bisa mengenal etika riset dan paham bagaimana dirinya harus bersikap saat diminta menjadi responden dalam penelitian tertentu atau saat membaca hasil riset.

Ke depan, saat diminta menjadi responden riset, LGBT bisa bertanya: Apa tujuan risetnya? Apa saja hak-hak saya? Apakah saya bisa cek bagaimana pernyataan saya dikonstruksi dalam publikasi? Seberapa kredibel peneliti dan kolaboratornya? Mana daftar publikasi Anda? Siapa yang mendanai riset Anda?

Jika perlu, penting bagi LGBT muda yang mempunyai kesempatan untuk menekuni sains, menjadi akademisi, peneliti, atau jurnalis sains.

Baca juga: Secara Biologi dan Kedokteran, LGBT Normal atau Tidak?

 

Dengan begitu, representasi LGBT dalam komunitas ilmiah bisa meningkat dan harapannya bisa mendorong inklusivitas.

Pasti, perlu keterbukaan pihak lain untuk mewujudkannya. Lembaga riset, misalnya, seberapa ramah kepada LGBT.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)–kini Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)–pernah menyusun indikator kesetaraan gender berdasarkan jumlah persentase ilmuwan perempuan. Saat ini, perluasan indikator kesetaraan itu perlu dilakukan.

Sangat dangkal untuk mengukur kesetaraan gender hanya dari jumlah ilmuwan perempuan semata. Sikap pada mereka yang masuk dalam kategori non-binari perlu dijadikan salah satu kriteria.

Media pun mempunyai peran penting. Isu LGBT harus mendapat perhatian. Perlu peningkatan representasi LGBT di dalam ruang redaksi sekaligus kesempatan bagi mereka untuk menyuarakan kepentingannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com