Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yunanto Wiji Utomo
Penulis Sains

Science writer. Manager of Visual Interaktif Kompas (VIK). Chevening Scholar and Co-Founder of Society of Indonesian Science Journalists (SISJ).

LGBT Harus Berhenti Percaya Informasi Salah dan Sains yang Usang

Kompas.com - 20/11/2022, 11:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pengalaman kekerasan itu valid, tetapi dampaknya pada orientasi seksual tidak bisa dikaitkan begitu saja.

Membuat kausalitas antara kekerasan dengan indentitas gender berpotensi menempatkan teman-teman LGBT pada posisi rentan. Misalnya, memicu peneliti membuat kesimpulan riset problematik.

Sama seperti kepercayaan bahwa orientasi seksual dipengaruhi trauma, pergaulan, dan pengalaman kekerasan, meyakini bahwa identitas seksual kita dipengaruhi hanya oleh faktor genetik semata juga bermasalah.

Baca juga: Apa Isi Riset LGBT yang Bikin Dwi Estiningsih Ditegur Peneliti Asing?

Riset Zietsch dan Ganna dengan metode Genome-Wide Association Studies (GWAS) mengungkapkan bahwa tidak ada satu gen tunggal yang membentuk orientasi seksual. Gen punya pengaruh substansial, tetapi tidak mendominasi.

Ungkapan "we are born this way", sama seperti “gue gay karena trauma” dan “gue gay karena dulu ada yang pengaruhin” adalah simplifikasi dari kompleksnya faktor pembentuk orientasi seksual dan identitas gender sekaligus dapat menempatkan LGBT pada posisi yang rentan.

Di tengah kemajuan bidang biologi molekuler, sangat mungkin mengidentifikasi keberadaan sebuah gen dalam individu. Contoh, deteksi gen BRCA1 dan BRCA2 penyebab kanker payudara yang dilakukan Angelina Jolie menjadi dasar tindakan mastektominya.

Apa jadinya bila satu atau sekelompok gen gay ditemukan dan pengaruhnya kuat? Pihak tertentu justru bisa memanfaatkan itu sebagai basis diskriminasi. Misalnya, tes gen gay dulu sebelum menjadi polisi. Kalau mempunyai gen gay, berarti tidak lolos tes.

Percaya bahwa LGBT itu genetik saat ini juga malah akan menyulitkan perjuangan kesetaraan. Kita akan terjebak pada perdebatan genetik versus lingkungan, nature versus nurture, yang sebenarnya kurang diperlukan untuk mengupayakan kesetaraan.

Meskipun LGBT harus berhenti memercayai bahwa orientasi seksual itu semata-mata genetik, mereka juga harus mewaspadai informasi salah terkait yang beredar. Misalnya, "gay bukan genetik, maka gay bisa kembali ke fitrah."

Fakta bahwa LGBT tidak semata-mata genetik bukan berarti kalian harus berubah. Tidak ada landasan ilmiah kalian harus berubah. Jikapun ada, alasannya bukan sains, melainkan kepercayaan.

Yang menarik, pandangan agama bahwa LGBT itu terkutuk dan harus berubah bukan tanpa perdebatan.

Kajian para ahli kitab suci yang lebih inklusif, misalnya, menemukan adanya ruang penerimaan LGBT dalam agama, bahkan untuk pernikahan sejenis sekalipun.

Jadi, jika kalian LGBT dan bertanya-tanya apakah harus berubah, jawabannya tergantung kepada pemuka agama mana kalian bertanya.

Beberapa akan meminta kalian merayakan identitas diri dan fokus pada hal-hal yang lebih penting dalam hidup, sehingga bisa berfungsi di masyarakat.

Sangat penting untuk mendengar pendapat pemuka agama yang betul-betul mengkaji agama secara akademik dan memiliki rekam jejak riset dan aktivitas yang baik. Bukan pemuka agama karbitan yang tiba-tiba populer di media sosial. Bukan juga para saintis yang tiba-tiba bicara agama.

Baca juga: Menalar LGBT di Luar Perspektif Agama, Bagaimana Genetika Melihatnya?

Tidak dominannya faktor genetik pada orientasi seksual dan identitas gender juga tidak bisa menjadi dasar pihak tertentu memaksa individu berubah.

Apakah orientasi seksual bisa berubah? Dalam konsep fluiditas gender, itu dimungkinkan.

Namun, itu bukan alasan satu pihak memaksa yang lain untuk "meluruskan" orientasi seksualnya. Sebab, upaya mengubah secara paksa itu justru menimbulkan masalah psikologis, mental, serta tidak mempunyai dasar ilmiah kuat. 

Sigmund Freud pada 1935 sudah menulis, bahwa upaya "meluruskan" homoseksualitas itu sia-sia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com