KOMPAS.com - Thalasemia adalah kelainan darah yang diturunkan dari orangtua ke anaknya melalui gen.
Kondisi ini dapat terjadi saat tubuh tidak membuat cukup protein yang disebut hemoglobin, bagian penting dari sel darah merah.
Saat tubuh tidak cukup memiliki hemoglobin, sel darah merah tidak akan berfungsi dengan baik. Sel darah merah bertahan dalam waktu yang lebih singkat, sehingga ada lebih sedikit sel darah merah sehat yang mengalir dalam darah.
Seperti diketahui, sel darah merah berfungsi membawa oksigen ke seluruh tubuh. Oksigen dibutuhkan oleh sel-sel agar dapat menjalankan fungsinya.
Baca juga: Cegah Penderita Baru, Kemenkes Rumuskan Aturan Skrining Talasemia
Dikutip dari CDC, saat tidak ada cukup sel darah merah sehat di dalam tubuh, otomatis tidak cukup oksigen yang diedarakan ke seluruh tubuh.
Kurangnya kadar oksigen ini akan membuat seseorang merasa lemah, lelah, atau sesak napas, disebut sebagai anemia.
Orang dengan thalasemia mungkin mengalami anemia ringan atau berat. Anemia berat bisa merusak organ tubuh yang menyebabkan kematian.
Talasemia ringan kemungkinan tidak memerlukan pengobatan, namun kondisi yang parah dapat memerlukan transfusi darah secara teratur.
Baca juga: Kisah Dhona Rifana, Penyintas dan Guru Talasemia
Disadur dari Mayo Clinic, terdapat beberapa jenis thalasemia, dengan tanda atau gejala yang dialami, tergantung dari jenis dan tingkat keparahan kondisi. Beberapa tanda atau gejala thalasemia meliputi:
Thalasemia bisa terjadi pada segala umur, termasuk bayi baru lahir dan yang lain mengembangkannya selama dua tahun pertama kehidupan.
Adapun beberapa orang hanya memiliki satu gen hemoglobin yang terpengaruh tidak memiliki gejala talasemia.
Baca juga: Kelainan Darah Thalasemia: Jenis, Gejala, dan Dampak pada Anak
Thalasemia terjadi dikarenakan adanya mutasi pada sel DNA yang membuat hemoglobin. Mutasi yang terkait dengan talasemia diturunkan dari orangtua ke anak-anak.
Molekul hemoglobin terbuat dari rantai yang disebut alfa dan beta, yang bisa dipengaruhi oleh mutasi.
Pada thalasemia, produksi rantai alfa atau beta berkurang dan menghasilkan alpha-thalasemia atau beta-thalasemia.
Pada alpha-thalasemia, tingkat keparahannya tergantung dari jumlah mutasi gen yang diwarisi dari orangtua. Semakin banyak gen bermutasi, maka semakin parah talasemia yang terjadi.
Sedangkan pada beta-thalaesmia, tingkat keparahannya tergantung pada bagian mana dari molekul hemoglobin terpengaruh.
Baca juga: Mengenal Thalasemia pada Bayi, Penyebab dan Gejalanya
Beberapa faktor risiko yang meningkatkan thalasemia meliputi:
- Riwayat keluarga thalasemia, di mana thalasemia diturunkan dari orangtua ke anak melalui gen hemoglobin yang bermutasi.
- Keturunan tertentu, di mana thalasemia paling sering terjadi pada orang Afrika-Amerika serta keturunan Meditenia dan Asia Tenggara.
Dalam kebanyakan kasus, thalasemia tidak dapat dicegah. Seseorang yang menderita thalasemia, atau membawa gen thalasemia, maka dapat berkonsultasi dengan konselor genetik untuk memperoleh panduan saat ingin memiliki anak.
Pemutusan mata rantai thalasemia bisa dilakukan dengan mencegah pernikahan sesama pembawa sifat thalasemia dan mengenali ciri-ciri penyakit tersebut.
Terdapat bentuk diagnosis teknologi reproduksi, yang menyaring embrio tahap awal untuk mutasi genetik yang dikombinasikan dengan fertilisasi in vitro.
Hal tersebut dapat membantu orangtua yang menderita thalasemia atau pembawa gen hemoglobin rusak memiliki bayi yang sehat.
Nantinya, prosedur ini melibatkan pengambilan sel telur matang dan pemupukannya dengan sperma di laboratorium. Embrio diuji untuk gen yang rusak, dan hanya embrio yang tidak memiliki cacat genetik yang ditanamkan ke dalam rahim.
Baca juga: Penyakit Thalasemia Belum Bisa Disembuhkan, Ini Pentingnya Deteksi Dini
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.